Wednesday, December 10, 2008

"Nonton" penggusuran di Kali Buaran

Penggusuran di Duren Sawit
Lihat juga: Foto-foto penggusuran di Kali Buaran.

Sumpah! Baru pertama kali ini aku menyaksikan peristiwa penggusuran. Biasanya aku hanya melihat di televisi, atau membaca di surat kabar. Saking seringnya berita di media massa tentang penggusuran di negeri ini, terlebih di Jakarta, sampai-sampai peristiwa semacam itu tak menimbulkan efek hati yang begitu dalam: mati rasa! Aneh!

Tetapi aku yakin, bagi warga yang mengalaminya peristiwa itu jelas menorehkan kesan pedih tak terlupakan. Meskipun secara hukum mereka tidak mempunyai hak untuk menempati lokasi tergusur, tetapi peristiwa penggusuran tetaplah merupakan problematika yang pantas diperhatikan, terutama dari sisi sosial dan kemanusiaan.

Itulah yang sempat aku saksikan tadi pagi. Ratusan rumah warga di tepi bagian barat Kali Buaran, Durensawit, Jakarta Timur dirobohkan satu per satu dengan backhoe oleh ratusan petugas Satpol PP, Rabu (10/12/2008). Meski sudah berkali-kali warga berdemo untuk menolak penggusuran itu, namun mereka harus pasrah menyaksikan rumahnya dirobohkan. "Gusuran ini untuk normalisasi Kali Buaran dan mencegah pendangkalan," kata Kasudin Trantib Jakarta Timur Tiangsa Surbakti di lokasi, seperti dikutip DetikNews, Rabu (10/12/2008).

Sejauh yang aku saksikan tadi pagi, memang tidak ada perlawanan berarti dari warga. Menurut beberapa warga sekitar lokasi, sebenarnya surat peringatan untuk segera meninggalkan daerah tepi Kali Buaran itu sudah disampaikan kepada para kepala keluarga di tempat itu. Ratusan petugas Satpol PP dapat menjalankan tugasnya dengan leluasa. Warga hanya menyaksikan rumah mereka satu per satu dilibas dengan alat berat. Beberapa tak sempat mengamankan barang-barang kepunyaan mereka. Namun beberapa bahu membahu bisa segera memindahkan harta kekayaan mereka ke seberang kali.

Penggusuran, rasanya pantas menjadi moment of awareness - saat pembelajaran dan penyadaran bagi siapa pun tentang hak warga negara dan hak negara. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa di lokasi itu bisa dengan leluasa didirikan bangunan rumah tinggal dan berlangsung bertahun-tahun? Ada pembiaran atas sebuah kekeliruan! Dampaknya, torehan kepedihan di hati yang sebenarnya tak perlu terjadi. [skd]

Wednesday, October 29, 2008

Asyik dengan lalat!


Flies - Morning Talk, originally uploaded by BornJavanese.

Entah mengapa, sejak aku gandrung lagi pada fotografi setelah beberapa waktu kamera Nikon F10-ku hilang dicuri malind di Gua Kerep Ambarawa, binatang ini selalu menarik perhatianku: lalat hijau (laler-ijo). Sampai-sampai aku mencari tahu nama Latin dari serangga yang terkenal menjijikkan ini. Ternyata banyak variannya. Yang aku yakin sering aku jepret adalah jenis Chrysomya megalocephala, sebuah nama yang cantik di balik reputasinya yang jelek! Coba bukan berarti laler ijo, pasti menjadi pertimbangan untuk nama calon anakku yang sekarang genap tujuh bulan dalam kandungan!

Begitu perhatian sama si laler, aku pernah menulis beberapa insight - makna rohani - tentangnya di blog-ku yang lain. Di blog yang khusus aku buat untuk kreativitasku ber-fotografi juga sering aku upload gambar serangga ini sebagai wallpaper. Dan kini aku merasa perlu untuk mencerna memperhatikan, apakah ada pesan tersendiri di balik semua itu.

Kira-kira sebulan lalu boss-ku di kantor bercerita tentang pengalaman unik berkaitan dengan lalat. Semenjak bapaknya meninggal, demikian beliau bertutur, setiap kali beliau "jagongan" minum teh atau kopi, tidak hanya di rumah namun di hotel berbintang sekalipun, selalu ada seekor lalat gedhe yang berseliweran di depannya. Kadang binatang itu hinggap di meja atau di gelasnya. "Entah mengapa bisa begitu," ujar beliau bertanya-tanya.

Aku hanya berkomentar sedikit, "Lalat itu sukanya di tempat kotor dan berbau busuk, Pak! Hahaha.... Jadi..." Hehehe... aku ra wani melanjutkan! Agak bercanda tetapi mungkin sedikit menohok! Beliau pun mengerti akan hal itu, jelas.

"Tetapi aku pernah membuat tulisan makna rohani tentang lalat ijo, lho Pak! Dia itu kalau menyendiri, apalagi hinggap di tempat istimewa seperti bunga misalnya, kelihatan cantik. Barangkali saat itu dia sedang retret! Hahaha... Maksud saya, binatang itu tampak indah pada waktunya. Ah, mungkin Bapak harus mencerna pesan rohani yang ada di balik pengalaman bersama lalat itu, deh!"

Beliau tidak melanjutkan... kelihatannya hanya berhenti di situ saja, entahlah.

Sekarang malah ganti aku yang terusik, mengapa aku suka mengambil foto lalat. Mungkinkah aku sekarang ini sedang asyik dengan hal-hal yang sebetulnya kotor dan berbau busuk, hal-hal yang potensial membuat sakit? Mungkinkah aku sekarang ini sedang bergelut dengan perkara-perkara yang semestinya segera aku sudahi? Okelah... rasanya ini pesan penting bagiku dari alam.

Sementara itu, lalat memang selalu ada di mana-mana.... Dan jangan lupa, di jaman Nabi Musa dulu binatang ini pernah dipergunakan Allah untuk memperingatkan raja Firaun yang keras kepala! [skd]

Sunday, September 28, 2008

Diplonco jadi dirigen!

Pertama kali ngikut misa lingkunganNamanya juga warga yang baru dikenal lingkungan, jadi masih manutan! Hehehe...

Adalah Rm. Meus, CSsR., yang gak tahan lagi untuk memperkenalkan aku di lingkungan Darmojuwono, Curug, Kalimalang, pada saat misa lingkungan. Pasalnya, Beliau sudah mengenalku sejak mengenyam pendidikan di Mertoyudan dulu. Sekitar dua tahun lalu aku main ke pasturan dan ngobrol dengan segudang cerita dan kenangan. Waktu itu aku tanya, di Paroki St. Leo Agung ini aku termasuk di lingkungan mana. Kalau tidak salah, begitu beliau bilang, lingkungan Darmojuwono. Terus aku dikasih nomor telepon tokoh umat yang bisa aku hubungi. Sampai saat ini nomor itu tak pernah aku pencet, malah kayaknya sudah ilang deh. Dan baru Selasa, 09 September 2008 lalu Beliau pertama kali melihatku menghadiri misa lingkungan. "Saudara-saudara sekalian, rasanya saya harus memperkenalkan teman saya ini. Saya kenal sejak di seminari, dia ini pintar menyanyi, seorang dirigen koor yang baik...bla...bla...bla..." Beberapa tokoh umat pun langsung menyahut, "Boleh tuh! Koor lingkungan kita selama ini kurang semangat, dirigen seadanya... Mas, besok tugas koor jadi dirigen ya!"

"Sendika dhawuh..." warga baru gimana mau menolak?! Apalagi sudah diperkenalkan oleh Pastornya!

Jadilah, Jumat, 26 September kemarin aku nglatih koor di rumah Bp. Sianipar. Padahal waktu itu kondisiku sangat lemas, habis demam tinggi dan diare tiga hari! Keringat dingin keluar deras sekali, bukan karena grogi, tetapi karena menahan lemes.... Aku belum berani macam-macam. Koor satu suara, okelah...asal lagu-lagu dinyanyikan dengan benar dan dijiwai secara betul. Lagipula, kesempatan latihan koor sudah tidak memungkinan untuk berkreasi. Latihan hanya sekali, langsung tancap di Minggu sore, 28 September kemarin!

Entah apa komentar umat. Pertama-tama mungkin sedikit bertanya-tanya, kok ada wajah baru di kelompok koor itu; tangannya pating kethuwil dari sosok laki-laki pucat kurus berbaju batik lengan panjang. Aku tidak begitu peduli. Namun.... perploncoan bisa berjalan tanpa kesulitan berarti.

"Besok lagi, ya Pak Kandar! Kita cari lagu-lagu baru empat suara!" kata Pak Sianipar, sang ketua lingkungan penuh harap. [skd]

Sunday, September 21, 2008

Re-motivasi

Oxidation-Energy



Akhir-akhir ini kepalaku sering puyeng kalau memikirkan masa depan: 5 tahun ke depan akan jadi apa hidupku? Tempat kerja sedang dilanda masalah berat dan hampir tidak menjanjikan perubahan baik karena kebijakan-kebijakan yang tak masuk akal orang beriman; sementara itu aku merasa sebagai orang yang "minim" kompetensi menurut penilaian profesional. Ada keinginan untuk cabut dari tempat kerja sekarang, tetapi diri ini masih belum begitu pe-de untuk bertindak. Apa toh yang bisa aku jual dari diri ini? Lima tahun jalan sepertinya bukannya tambah pinter, tapi malah tambah bodho. Maklum... "penjara" idealisme masa lalu kadang masih begitu kuat. Banyak angan-angan dimentahkan oleh realita baru yang kadang mengejutkan. Dulu aku fasih berkata-kata, namun sekarang seolah kata-kata itu lenyap dari kepala... Padahal, bagiku kata-kata adalah kekuatan hidup. Layaknya Sang Sabda, Sang Kata-kata adalah sumber cahaya untuk melangkah.

Kamis, 18 September 2008 lalu aku tiba-tiba didaulat untuk memandu Pendalaman Kitab Suci di lingkungan. Tanpa persiapan, ngalor-ngidul. Sama sekali fatal buatku. Tetapi justru dari peristiwa itu aku menjadi tersadar, betapa Sang Sabda itu adalah sumber kekuatan hidup sebagai orang beriman, bukan saja sebagai orang yang sedang berjuang mencari nafkah. Kembali kepada Sang Sabda kiranya adalah ajakan untuk mengembalikan kekuatan hidup yang sedang loyo dan sempat ter-demotivasi oleh situasi ini!

"Ya Roh Kudus, bakarlah jiwaku dengan Sabda-Mu!" [skd]

A little movement

Few seconds before I wrote this post, I deleted a text-widget, which described about this blog and information about who I am. I did it not because I ashamed of the description, but I felt something negative that gave me no help to write stories of my daily life gratefully! It was melancholic sphere, which dominated my writings, had entrapped me so much due to the display of the description right on the first view of this page! It set me up into that negative impact. So, I moved it into the first post of this blog.

Maybe it does not make this blog more popular and eye-catching. No problem with that, and I don't care! I just care of the grateful-living spirit to be the mean soul of the writings I post on here. A little movement for the bigger change! I hope so...

Thursday, September 04, 2008

Jadi umat lingkungan

Semalam aku ikut pendalaman Kitab Suci di Lingkungan Darmojuwono, paroki St. Leo Agung Kalimalang. Itu pun karena ada undangan dari sekretaris lingkungan. Semula aku terheran, soalnya tak satupun umat Katolik yang kukenal di tempat aku ngontrak. Rupanya ibu pemilik rumah yang ditempati semalam memperoleh informasi tentang keberadaanku dari tetanggaku yang kebetulan mburuh setrika di keluarganya.

Syukurlah. Sekitar dua tahun lalu sebetulnya aku sudah "melaporkan diri" ke Romo paroki, Rm. Meus, CSsR, sekalian menanyakan aku ini masuk lingkungan mana. Namun karena tidak ada informasi berikutnya - dan saya juga masih gamang untuk dikenal umat lingkungan - usahaku terhenti di situ. Tapi, malam tadi menjadi obatnya. Aku kira Tuhan memberi jalan supaya keinginanku bergaul dengan umat itu dilanjutkan. Aku tak mungkin menolak.

Beda dengan ketika aku di tempat kakaku di Cimanggis yang umatnya sudah mengenalku semenjak masih jadi imam dulu dan aku sering terlibat dalam kegiatan di lingkungan, semalam aku merasakan sesuatu yang lain dan baru. Jelas, mereka belum mengetahui siapa saya ini dulunya, dan ini merupakan pertolongan buatku - sekurangnya untuk sementara. Tak ada rasa curiga dari mereka, so... pendalaman Kitab Suci semalem berjalan seperti biasa, hanya ditambah kedatangan sosok-sosok warga baru yang memperkenalkan diri: aku, Herman Malli, Paul, dan Tanto. Untungnya, teman-temanku itu tidak "keprucut" menyebutku "Romo" seperti yang biasa mereka lakukan setiap hari.

Aneh rasanya... "... as if I'were truly nothing!" Selama bapak pemandu menjalankan tugasnya, kepalaku penuh dengan ingatan layaknya seorang pastor yang sedang mendampingi umatnya. Namun mata hatiku mengajak pada sebuah pemandangan tentang bagaimana Roh Allah senyatanya berkarya dalam kebersahajaan. Apa pun yang sang bapak itu sampaikan seolah-olah merupakan hembusan angin yang menari-nari di depan mataku. Aku bisa menilai seberapa memahami beliau akan Kitab Suci, sejarah dan ajaran Gereja. Tetapi, stoooop....! Dia itu sedang menjalankan tugasnya, melayani karya Roh Allah. Aku tergoda untuk menyampaikan "pemahamanku" yang bisa bla...bla...bla... Tapi, stoooop...! Barangkali belum saatnya...

Tema Bulan Kitab Suci KAJ 2008 ini membahas kemurahan hati Allah. Pertemuan pertama mengambil inspirasi dari Matius 25:31-46 tentang penghakiman terakhir. Memang aku sempat menyampaikan sedikit sharing tentang bagaimana perikop itu berbicara padaku dalam hidup keseharian, bahkan memberi inspirasi bagaimana dasar iman kristianiku terletak, bahkan menjadi salah satu hal yang kini aku perjuangkan di cara hidup yang sekarang aku jalani ini. Namun... itu jauh berbeda dibanding saat menjalankan fungsi imami. Bedanya, sekarang ini aku berbicara sebagai seorang umat "biasa" yang sedang lebur dalam tarian angin sepoi-sepoi seperti sang bapak pemandu. Sementara yang "dulu", seolah-olah aku bisa membuat badai!

Aaaaah... tapi itu dulu.... Sekarang, aku ini seorang umat lingkungan, yang menari-nari karena angin sepoi-sepoi... [skd]

Tuesday, July 15, 2008

Garis Bawah - Secuil kesan bersama Rm. Pujasumarta

Mgr. J. Pujasumarta






"Ndar... piye kabarmu? Apik toh?
Piye 'garis bawah'-e?"

Begitu tanya Romo Puja suatu sore ketika berjumpa denganku di salah satu gang di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan. Ketika itu aku sudah menjadi imam; sapaan dan pertanyaan seperti itu membuatku sedikit tersentak.


Sejenak ingatan ini melesat ke tahun 1991-1992 ketika aku masih menjalani pendampingan di Tahun Rohani Jangli, Semarang. "Garis Bawah" adalah sebuah judul dari makalahku yang dipresentasikan di Sidang Akademi yang biasa diadakan setiap Minggu sore. Judul itu adalah kata kunci dari pengalaman makna rohani yang aku sharingkan di forum sidang itu bersama kelompok basisku.

"Garis Bawah" adalah istilah untuk menyebut "tanda-tanda", "sinyal-sinyal" akan adanya petunjuk-petunjuk dari Allah atas perjalanan rohani sebagai orang beriman, yang tersamarkan dalam peristiwa hidup sehari-hari. Aku membagikan pengalamanku tentang bagaimana mengenali tanda-tanda bimbingan Allah itu dengan inspirasi dari pengalaman kabar gembira yang diterima Bunda Maria dan buku Latihan Rohan St. Ignatius Loyola. Allah menuntun hidupku dengan sabda-Nya. Sabda itu terdengar jelas ketika Kitab Suci dibacakan, namun kadang tersamar dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Emosi, empati, harapan, kegembiraan, kesedihan... semuanya bisa menjadi medan di mana Allah sungguh berbicara. Bila hidup sehari-hari diibaratkan sebagai sebuah kalimat yang sedang dibaca, pengalaman-pengalaman "istimewa" dan mengesankan itu adalah torehan garis bawah yang patut diperhatikan. Begitu biasanya saat orang sedang membaca buku dan membuat garis bawah terhadap beberapa kata maupun kalimat yang mengesankan. Pengalaman-pengalaman itu kemudian dicerna untuk menjadi dasar langkah hidup selanjutnya. Itulah proses "discernment", sebuah kata penuh makna yang demikian populer di kalangan para frater waktu itu, boleh diartikan sebagai "menimbang perkara" atau "maneges karsa Dalem Gusti". Kata itu sedemikian menggetarkan jiwa setiap kali muncul dalam pembicaraan atau bincang-bincang saat colloquium pribadi. Adalah Romo Puja yang memperkenalkan istilah itu kepada kami. Beliau adalah rektor kami di Tahun Rohani yang jeli dan teliti memperhatikan dan mendampingi para frater demi frater.

Jadi, "garis bawah" dalam sapaan sore itu terdengar di telinga ini sebagai "discernment"!

"Gila!" batinku. Romo Puja masih ingat sharingku di Sidang Akademi yang terjadi nun bertahun-tahun sudah berlalu! Aduh, dengan senyumnya yang tulus saat menyapaku seperti itu membuatku merasa sedikit flattered! Ada semacam personal touch di balik sapaan basa-basi itu yang sampai saat ini masih terasa istimewa. Entah beliau menyadari atau tidak, yang jelas aku merasa tersanjung: "Eh, ada sesuatu yang berkesan dariku bagi beliau!"

Meskipun berwajah brewok dan terkesan menyeramkan (namun kadang terlihat lucu tur lugu), namun hatinya lembut dan teduh menyejukkan penuh keakraban seperti figur ibu yang hadir dengan rengkuhannya. Kesan itu masih terpancar dalam sapaan sore itu. Betapa tidak, kondisiku saat itu sebetulnya memang sedang merasa tidak nyaman dengan diri sendiri. Aku yakin beliau mengetahuinya. Dengan menyebut "garis bawah" seolah beliau ingin mengajakku kembali ke semangat awal, back to the origin, ke saat-saat penuh rahmat di Jangli!



***

Tahun-tahun berlalu sudah. Aku sudah mengundurkan diri dari jabatan imamat dan meneruskan peziarahan dalam konteks pelayanan umum dan mencari nafkah di Jakarta. Internet dan blogging menjadi duniaku yang kedua, di mana aku bisa menuangkan gagasan dan berbagi pengalaman melalui dunia "maya" ini. Aku pikir, mungkin di sini juga aku masih bisa berperan dalam rangka karya Allah selain juga pengembangan diri dan karir untuk membantu menopang hidup.

Ketika browsing dan blog-walking, tiba-tiba aku dikejutkan oleh satu hal: Rm. Vikjen. Pujasumarta memiliki account di Multiply.com! Busyeeeet...! Serta-merta aku aktifkan lagi akunku di Multiply yang lama tak kuurus. Beliaulah orang pertama yang aku invite ke dalam contact-list-ku. Hmmm... memang tidak mau ketinggalan zaman si romo brewok yang satu ini, batinku. Seingatku, sejak beliau memiliki laptop sendiri, beliaulah yang memakai PowerPoint saat presentasi dalam pertemuan romo-romo KAS! Saking getolnya beliau learning-by-doing untuk memanfaatkan sarana-sarana canggih seperti itu, sampai-sampai beberapa romo menyampaikan kritikan atas hal itu: "Romo Vikjen kian asyik dengan laptopnya hingga penyampaian materinya terasa garing!"

Namun dalam hati aku pernah beranggapan, ah... paling juga cuma sebentar keranjingannya, namanya juga "mainan" baru! Lagipula, aku yakin, ada visi tersembunyi yang beliau miliki di balik itu semua. Hanya saja belum semua romo mampu memahaminya dan menerimanya. Sekarang ini mungkin kenyataannya sudah lain... Dan lihat! Homepage beliau di multiply.com ramai pengunjung! Dan ternyata... banyak romo baik dalam maupun luar negeri yang mempunyai akun juga di sana! Dan lihat juga! Romo Puja mempunyai "Internet of Prayers - Jejaring dan Doa" dalam salah satu entry blognya dengan bermacam-macam terjemahan bahasa, yang kemudian berkembang menjadi situ sendiri di JejaringDoa.Com! Ibarat gayung bersambut, riak kecil itu telah menjadi gelombang yang menyebar ke mana-mana. Aku melihat karya Allah yang semakin terdukung sampai ke celah-celah dunia ini, bahkan sampai ke sisi dunia maya sekalipun! Deo Gratias!

Ada satu lagi yang mengesan bagiku. Di antara friends Rm. Puja di multiply, ada satu orang yang aku invite, namanya Malga. Mungkin dia meragukan aku sehingga menulis komentar begini:

"Hello and God bless you. Thanks for adding me to your contacts. I wonder if you are a catholic just like Johanes is. Is so I would love to invite you to Catholic Friends (of course only if you are one). May Good God always bless you very richly, Ag Sukandar!!!!!"

Bukannya aku duluan yang menanggapi komentar itu, tetapi justru Romo Puja yang melakukannya!
"Malga, Ag is my friend! I know him well. Thank you for the friendship. God bless you all!"

Baru kemudian aku menyusul:
"Thanks, Malga. Sure, I will join to that group. Johanes is right. He is my best friend ever! God bless you and family!"

Dalam hati, ".... malu aku!" Kedekatan itu masih aku rasakan...

Pemilik akun di multiply.com itu hari ini ditahbiskan menjadi Uskup Bandung! Semenjak berita pengangkatannya diumumkan, termasuk melalui multiply, semakin banyak pengunjung situs beliau. Dan masih saja beliau menyempatkan waktu untuk online dan menanggapi komentar-komentar yang masuk. Update blognya juga masih rutin (hehehe... tidak seperti akunku di sana yang hanya copy-paste dari blogku yang lain). Semoga berkah Allah melalui beliau semakin melimpah kepada siapapun, termasuk melalui dunia internet ini!

Proficiat, Romo Puja! Semoga selalu gembira dan sehat melayani domba-domba di tempat penggembalaan yang baru. Aku turut gembira dan bersyukur atas pentahbisan Romo menjadi Uskup Bandung. Terima kasih atas pendampingan, serta persaudaraan imami yang Romo wujudkan selama ini. Semoga semakin banyak orang memuji dan bersyukur kepada Allah bersama Monsignore! Amin!

Sapaan sore itu selalu terngiang jelas di telingaku.... [skd]

Thursday, July 10, 2008

Angelic-Cloud


Angelic-Cloud
Originally uploaded by
BornJavanese
Suatu malam aku pernah mengatakan kepada istriku kalau aku rindu memandang langit malam yang bertaburan bintang-bintang, bersih tanpa awan. Istriku cuma tersenyum...

Aku bahkan juga pernah menyampaikan kepada adikku nun dulu suatu malam, kalau dia merasa rindu padaku aku minta dia untuk memandang langit yang berbintang atau berbulan. Aku tidak tahu apakah dia masih ingat pesanku itu.

Dan aku pun pernah menulis puisi tentang itu:

Bila Kau Rindu

dinda...
aku ingin sedikit romantis

bila kau rindu padaku
pandanglah bintang di langit
di sana tertera namaku
dan aku hadir di sana
bertaburan cahaya

bila kau rindu padaku
pandanglah bintang di langit
dan nyanyikanlah lagumu
aku kan dengar di sana
menyelaraskan nada

nadamu sampai ke bintang
bergetar kekal abadi
kau 'kan berteman cahaya
cahaya kasih abadi

Mlati, 30 Maret 2002
menjelang malam bertaburan cahaya

Monday, June 09, 2008

Was-was...

Ketika menyadari bahwa matapencaharianku selama ini berada dalam situasi genting-ting, aku hanya bisa terdiam. Ada perasaan was-was, itu jelas. Betapa tidak, karena pendapatanku masih bergantung pada tempat di mana aku bekerja saat ini, sementara belum ada titik terang untuk alternatif yang lain. Belum lagi ditambah dengan persoalan publik yang masih menggelayut: harga BBM naik diikuti oleh kenaikan harga-harga lainnya. "Memang berat hidup ini!" begitu seorang teman bilang.

Hampir setiap malam sebelum tidur, aku selalu termenung di depan rumah sambil memandangi langit. Sesekali memandangi tanam-tanaman dalam pot peliharaanku. Dalam hati aku membuka lebar-lebar terhadap "inspirasi" akan kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa aku tempuh. Barangkali malam ini alam berbisik padaku. Tak jarang aku hanya bisa mendapatkan hirupan udara malam yang kadang terasa segar, namun kadang terasa gerah dibarengi dengingan nyamuk-nyamuk yang membikin pikiran semakin jadi kalut. Masuk ke dalam dunia gelap penuh self-blaming dan keluhan adalah godaan paling menggiurkan. Jika sudah ada iming-iming untuk memasuki dunia seperti itu, biasanya aku terus menyetopnya dan terus masuk ke dalam rumah meski dengan pikiran masih menggantung karena ubun-ubun ini masih terasa panas. Hanya doa penyerahan standard yang kemudian terucap dalam hati sebelum kemudian aku tertidur...

Perasaan was-was akan kehidupanku sebetulnya adalah tantangan iman. Itu yang aku tahu dan yakini, karena beriman mestilah tidak menyertakan perasaan takut, khawatir atau was-was. Memang bisa jadi aneh, karena menanggalkan perasaan itu akan seperti diri ini seolah berhenti - mati rasa. Padahal beriman tentu bukan kondisi mati rasa! Okelah, bagaimana bila perasaan was-was itu dirumuskan secara lain: kurangnya "ambisi" atau "gairah" untuk mewujudkan sebuah impian akan hidup yang lebih baik, kurangnya "optimisme" yang memacu langkah-langkah yang perlu diambil untuk sebuah achievement.

Mmmm... mungkinkah aku ini orang yang kurang berambisi, kurang bergairah untuk meraih sesuatu? Let me do something instead of writing words on here! [skd]

Tuesday, May 27, 2008

Sok sibuk! Ngleblog melulu!

Lebih dari sebulan aku tidak posting di blog ini! Pfff... terlalu nguprek di blog-blog yang lainnya sih!

Blog Jawaku paling rame dikunjungi orang. Soalnya di sana ada MP3 wayang kulit yang bisa didonwload. Aku bikin MP3 itu sewaktu masih aktif jadi pastur. Hiburan paling nyamleng di malam hari menjelang tidur, bahkan di siang hari pun, ya ituuu...wayang-wayangnya Ki Hadi Sugito almarhum. Kalau nggak ya campursarinya Mas Manthous. Tentu saja aku juga demen musik klasik, Taize dan musik-musik rohani. Tapi wayang dan gendhing-gendhing Jawa adalah favoritku. Sampai-sampai karena kegemaranku yang umumnya disukai oleh priyayi-priyayi sepuh dulu aku diparabi "Eyang" atau "Simbah"! Blog Born Javanese itu memang aku bikin karena kecintaanku pada budaya Jawa. Lumayan, bisa menjadi sarana untuk berbagi dan berelasi dengan umat Dalem, meski jelas tidak seperti dulu lagi.

Natural Wisdom adalah blog-ku yang lain. Aku berusaha untuk menulis dalam bahasa Inggris di blog tentang "kebijaksanaan alam" ini. Inilah blog pertama yang aku buat. Pendidikan rohani di Tahun Rohani Jangli Semarang telah menabur benih yang patut aku pelihara dan lestarikan. Benih itu berupa kebiasaan untuk menarik makna rohani dari hal-hal sehari-hari. Allah yang bersabda dan berkarya sungguh nyata! Alam pun menyampaikan pesan itu, dalam keheningan.

Sebetulnya ada lagi blog lain yang semula aku maksudkan untuk menyampaikan getar iman dalam situasi hidup yang serba sulit ini. Judulnya pun begitu pe-de dan bombastis: Kandar for The Good News! Sampai-sampai aku malah merasa minder dengan judul itu. Yaaaah... semula sih dengan semangat berkobar-kobar penuh kepercayaan diri aku ingin menyampaikan pesan-pesan gembira dari peristiwa hidup sehari-hari. Menyikapi hidup dengan sederhana, positif thinking, dan mindset senyum ceria adalah sebuah cara yang ingin aku bagikan. Pada kenyataannya, situasi hidup dalam kebersamaan di tengah masyarakat sudah terlalu banyak diderasi oleh berita-berita yang mengkhawatirkan! Memang tidak mudah untuk menggeliatkan jiwa optimistis dan kegembiraan di tengah belantara hidup seperti itu. Untuk tetap hidup dalam iman - yang mestinya ditandakan dengan optimisme dan kegembiraan - memanglah sebuah perjuangan yang tiada henti.

Sudah sebulan ini aku juga mengelola blog baru lagi yang lebih gaul. Namanya Sukasih. Kisah-kisah seputar keluargaku semenjak aku mempunyai istri aku tuangkan di family blog ini. Meski hidup berkeluarga tidak serba mulus, namun yang aku sampaikan di blog ini selalu dalam nada cair, ngelucu dan ngehumor.

Hobby fotografi dan desain grafis juga telah menggodaku untuk membuat blog baru lagi. Jadilah Wallpaper 4U. Meskipun sudah terlalu banyak situs-situs yang menawarkan wallpaper yang bisa didownload secara gratis, aku tetep nekad. Ada gumpalan bahan di dalam hati ini untuk diurai dan dikemas secara indah dalam sapuan kursor mouse di layar monitor. Kekayaan budaya manusia Indonesia, pesan-pesan iman dan motivational musti bisa dikemas secara indah. Aku punya imagery yang kini sedang mengalir membentuk images. Wallpaper adalah media untuk itu.

Blablabla... Kalau mau dihitung masih banyak lagi yang seolah-olah menunjukkan aku ini seorang sibuk-man hingga jarang duduk berdoa di sini. Sudah berapa Hari Raya terlewat begitu saja tanpa ada endapan di tempat ini! Bulan Mei adalah bulan pujabakti kepada Bunda Maria... juga tak ada gemaku di sini tentang Sang Ibu. Bahkan sebuah berita gembira pun tak sempat tertoreh di sini sebelum ini: Sabtu, 17 Mei 2008, mantan rektorku di Jangli dulu, Rm. JM. Pujasumarta, Pr telah diangkat oleh Takhta Suci menjadi Uskup Bandung, 17 Mei 2008. Belum ada ucapan selamat aku sampaikan kepada beliau, baik melalui situsnya maupun melalui SMS atau telepon! Ter...la...lu!

Stop! Hatiku malah jadi lebih ngelantur... Aku mau meluncur ke situsnya Sang Uskup baru di Multiply sana sehabis tulisan ini sukses terposting! [skd]

Monday, April 14, 2008

Ngurus kepindahan ke Jakarta

Masa berlaku SIM-ku (Surat Ijin Mengemudi) sudah akan habis akhir bulan April 2008 ini. Padahal itu SIM dulu aku buat di Sleman dengan KTP Sleman. Karena menikah, aku harus pindah ke rumah orang tua di Kulonprogo. Sekalian, waktu liburan Paskah kemarin aku mengurus surat pindah ke Jakarta, supaya nanti bisa bikin SIM di metropolitan ini. Dan kini keberadaanku di Jakarta hanya berbekal selembar surat pindah itu.
 
"Bodho...ngapain tidak nembak saja?!" salah seorang temanku berceloteh.
"Ah, aku kan pengen jadi warga negara yang baik..."
"Enakan nembak, gak repot. Paling cuma habis 300-an, sudah dapet KK ama KTP!"
"Telungatus ewu ki akeh, Dab!"
"Lha daripada wira-wiri!"
"Ga papa... aku kepengen ngerti birokrasi di Jakarta. Ntar kalau ada celah-celahnya, apalagi kalau ada upaya dipersulit, mau aku cathet dan aku tulis di blog."
 
Begitulah, kini aku sedang memproses surat-suratnya. Sementara ini tidak ada kesulitan berarti kok. Kocekku baru berkurang Rp 5.000,- untuk nyumbang RW dan Rp 2.000,- untuk sumbangan sukarela di kantor kelurahan. Selebihnya, baru ongkos bensin yang tidak banyak, wong jarak ke kelurahan dan ke kecamatan tidak terlalu jauh. Cuma hari Jumat kemarin, waktu aku sampai di kecamatan, ada berkas yang masih kurang, yakni fotokopi KK pemilik rumah kontrakanku. Okelah, Senin ini aku sudah dapet fotokopiannya, tinggal diserahkan ke kecamatan. ***

Tuesday, April 01, 2008

Oke deh, ikutan CIBFest 2008!

CIBFest 2008 Banner ASemula, setelah mendaftarkan dua blog-ku yang lain, aku ragu untuk mengikutkan blog-ku yang satu ini ke dalam sebuah festival blog seperti CIBFest 2008. "CIBFest 2008 adalah festival online gathering yang diadakan untuk pertama kalinya bagi kalangan blogger Kristiani Indonesia," begitulah dikatakan di situs itu. Aku ragu, karena ada macam-macam perasaan berkecamuk dalam kepala ini bila identitasku yang tergolong unik ini harus diperlihatkan secara lebih terang-terangan, seperti mengiklankan diri. Ada perasaan minder, rendah diri, malu, takut, tak berarti, seperti mau telanjang di depan umum. Namun, justru karena perasaan-perasaan itu aku malah nekad mengikutkannya! Begini aku menuliskan deskripsi tentang blog ini di CIBFest itu:


"Menjadi seorang mantan imam kadang membuatku minder. Namun, mengapa harus tenggelam ke dalam masa lalu? Masih banyak yang bisa dilakukan untuk karya Allah yang lebih besar. Blog ini menjadi semacam tempat untuk mengendapkan pengalaman-pengalaman berharga supaya hati tetap bergembira dan bersyukur di dalam iman."

Hehehe... anggap saja ini bagian dari askese. Tak maulah aku bertele-tele dengan rasionalisasi yang tak berguna (kalau berguna sih...wong nyatanya dengan rasionalisasi kadang hati ini terbantu untuk menjadi lebih positif!):

Dalam perjalanan pulang ke rumah aku masih belum nyaman dengan pengikutsertaan blog ini ke CIBFest 2008. Status mantan pastor kan cukup mengundang perhatian (kalau ketahuan...hehehe...). Jadinya kan bisa lebih terkenal... ekspos...ekspos...

Padahal, siapakah aku ini, ha?! Bukankan lebih baik bersembunyi?! Bukankah lebih baik menutup pintu rapat-rapat daripada sengaja bugil di depan publik?! Apa yang ingin disampaikan di blog ini?! Apakah ada yang "bisa dipercaya" lagi?! Mau koar-koar soal iman, komitmen, kesetiaan, kasih, pewartaan, Yesus, Kerajaan Allah?! Baaahhhh!!! Ngaca lu, ngacaaa...!!!


Semakin merasa tak berarti deh jadinya.
Tapi... mosok sih separah itu diri ini?

Ada sesuatu yang mendorongku untuk berparadoks: Jangan-jangan, semakin aku merasa diri tak berarti, Allah Mahakasih justru semakin memandangku semakin berarti! Uuups...!

Oke deh!
Entah terserah nanti apa yang akan terjadi, terjadilah. Fiat voluntas Tua! Moga-moga saja apa yang aku lakukan semata-mata ad maiorem Dei gloriam, bukannya mei gloriam!

Lihat, di sana sudah ada Rm. Luluk, Mbak Nancy Dinar, Martin, Mas Sigid, dan tentu saja para aktivis gereja yang ternyata hebat-hebat. Luar biasa! Blog ini toh akhirnya tenggelam di antara deretan blog-blog organisasi kegerejaan, blog personal, blog rocketers, blog favorit yang sip-sip itu. Jadi agak tersamar laaah...

Setelah beberapa bulan tidak nge-post ke sini, gara-gara ikutan festival itu jadi termotivasi untuk corat-coret lagi. ***

Wednesday, January 16, 2008

"Anjing di bawah meja tuannya"

MyWeddingMinggu Kliwon, 9 Desember 2007 adalah hari bersejarah bagiku. Itulah hari saat aku mengucapkan janji perkawinan di hadapan publik secara resmi. Aku menikah dengan Leobarda Dini Purwanti secara sipil, tidak secara sakramental.

Bagi kebanyakan orang, hari perkawinan adalah hari bahagia. Ucapan "Selamat menempuh hidup baru semoga berbahagia" juga kami terima dari kerabat dan orang-orang yang menyaksikan perkawinan kami di hari itu dan hari-hari berikutnya. Ada yang secara langsung, ada pula yang melalui telepon maupun SMS. Namun, ucapan itu terasa aneh! Karena perasaanku hari itu memang tidak karuan. Bagaimana tidak, perkawinanku ini lain dari yang lain!

Untuk peristiwa perkawinan seperti diriku dan Dini ini, jumlah orang yang hadir di aula gereja Kiduloji termasuk istimewa. Ada sekitar 200-an orang. Kerabat dan keluarga dekat, teman-teman, kenalan dan bekas anak dampingan hadir menjadi saksi. Malah ada sahabatku seorang muslim rekan seperusahaan yang mengirimkan juru shooting video. Kehadiran mereka aku terima sebagai dukungan yang sangat bernilai. Dan memang, upacara perkawinanku di luar gedung ibadat itu menjadi terkesan sedikit meriah.

Namun aku tahu, di dalam lubuk hati mereka yang mengenal kami berdua tersemat kesedihan dan menyayangkan peristiwa itu. Beberapa kerabat dekatku ada yang tidak kuasa menahan tangis. Beberapa ada juga yang tidak mampu menutupi perasaan benci atas perkawinan itu. Bahkan ada juga yang mengirimkan pesan singkat mengutarakan hatinya yang "kelara-lara".

Aku sendiri ingin merasakan kebahagiaan sebuah hari perkawinan. Mulai malam midodareni dan hari-hari sebelumnya aku berusaha untuk berwajah gembira supaya hatiku turut tersetting demikian. Selama upacara pemberkatan janji perkawinan dan pesta kecil di rumah istriku pun aku membiarkan diri tersenyum dan tertawa, sampai pipi terasa kram. Namun aku mengakui, ada kepedihan tertoreh di hati demi menyadari itu semua. Dan belakangan aku harus mengakui juga bahwa kehadiran orang sebanyak itu lebih memberi dukungan kepada kedua orang tuaku yang tak bisa lagi aku membayangkan perasaan mereka.

Aku kesulitan menggambarkan suasana hatiku di hari itu. Campur aduk tak terkatakan. Gembira dan pedih menjadi satu. Namun untuk sebuah awal perjalanan babak hidup baru, hari itu memberi kesan lebih mendalam: sebab, tidak boleh ada ungkapan syukur atas perkawinanku!

Minggu Kliwon sore di hari yang sama, keluargaku mengadakan misa syukur keluarga dan mengundang umat wilayah untuk hadir. Keluarga istriku juga diundang. Semula ada tiga hal yang ingin disyukuri sebagai ujub:
1. Adikku nomor tiga hamil 7 bulan setelah 5 tahun menikah.
2. Adikku nomor dua baru saja melahirkan anaknya yang kedua, perempuan.
3. Aku sendiri anak nomor satu baru saja menikah.

Tetapi menjelang perayaan Ekaristi dimulai, romo tidak memperkenankan ujub ketiga itu! Aku tidak sempat diberi tahu dan tidak sempat diajak bicara tentang pembatalan itu. Aku bersama keluarga istriku tiba terlambat, persis saat misa akan dimulai. Sepanjang misa itu tidak ada doa atau homili sepatah katapun yang menyebut perkawinanku di pagi hari yang sama. Bahkan, homili romo yang disertai lelucon dan gelak tawa umat terasa seperti pedang tajam yang menusuk hatiku. Tengkukku sampai kaku dan nafasku sesak. Selama misa itu perasaanku sama sekali tidak nyaman. Aku seperti orang asing di rumahku sendiri!

Dan benar, ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Sehabis Doa Syukur Agung aku diminta untuk keluar dan diajak ke dapur. Di sana sudah menunggu Bapak, Pakdhe dan beberapa orang dekat lain. Oleh mereka aku diminta untuk mencegah keluarga istriku yang ingin pulang selagi misa belum selesai! Ya Tuhan! ternyata pembatalan ujub ketiga dan homili tadi itu juga dirasa sangat menyakitkan hati rombongan, yang nota bene tidak semuanya Katolik! Ada feeling of being humiliated.

Syukurlah, aku berhasil membujuk mereka untuk tetap tinggal sampai seluruh acara selesai, termasuk acara sambutan atas kehadiran rombongan yang semula sekalian ingin menyerahkan istriku ke tengah keluarga besarku.

Begitulah, suasana syukuran keluargaku menjadi tidak mengenakkan. Aku bertanya, "Apa yang salah dari semuanya ini?!" sementara orang lain bertanya, "Siapa yang salah?!" Dan kambing hitam pun harus ada! Siapa lagi kalau bukan pihak yang membatalkan ujub ketiga itu!

Demi buntut peristiwa yang seperti itu, aku menangis, benar-benar menangis! Jika dicari siapa yang salah, ya aku-lah biangnya! Siapa lagi?! Dan lagi, salah satu pertimbangan hingga aku memutuskan untuk mundur dari imamat adalah supaya kolegialitas imam-imam tidak turut tercemar oleh dampak "kenakalanku". Namun kini yang terjadi justru apa yang ingin aku hindari: salah satu sahabatku menjadi kambing hitam dan memperoleh umpatan yang sangat kasar.

Sekali lagi aku menangis karenanya. Seandainya ujub ketiga itu diganti menjadi ujub doa untuk yang berdosa ini - bukan ujub syukur - sebetulnya itu saja sudah memberi kesejukan. Orang berdosa ini berharap untuk masih bisa diterima di ruang ibadat, meskipun harus duduk di sudut pojok belakang.

Memang selayaknya aku menerima hukuman, dan aku telah menerimanya dengan cara seperti itu. Dengan perkawinanku aku mengambil resiko untuk menanggung konsekuensi gerejawi. Kini aku dan istriku tidak diperkenankan menyambut komuni dan sakramen-sakramen lainnya. Kami berdua sekarang ini masuk ke dalam ruang ibadat dengan kerinduan menyambut Tubuh dan Darah Kristus. Harapan dan kerinduan itulah yang kami rasa kini menjadi penggerak untuk hadir di sudut rumah Allah seraya memandang meja. Seperti apakah sekarang kami ini?

Pada suatu ketika, seorang ibu yang anak perempuannya kerasukan setan datang mendekat dan menyembah Yesus sambil berkata, "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab, "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Kata perempuan itu, "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya, "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh. - Mat 15:12-28; Mrk 7:24-30.

Permohonan, kata-kata, dan iman perempuan itu memberi inspirasi kepada kami berdua untuk menghayati iman dalam pengharapan dan kerinduan akan pertolongan kasih Allah, meski saat ini kami hanya boleh menerima remah-remah dari meja perjamuan.

"Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya. Tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh." ***

Tuesday, January 08, 2008

Preparing my new era of life

August 15th, 2007 was the day of the 2nd anniversary of my resignation as a Catholic priest. I have been living a way of laity people for two years, going on three. De iure I am still a priest as I just got "suspended" by the Catholic Law. I don't reach 40 years old yet. The Process of laitification will be begun properly at 40. So far no restriction put on me to receive communion and other Holy Sacraments. I thank God for this.

However, the day will come. Recently I am preparing my marriage. I will marry a woman I love on December 9th, 2007. It's so close. Oh, My! My clerical status obviously restricts me to have a wife as I vowed celibacy since my ordination of diacon on January 25th, 2000. So it will be a law-breaking. However I have made a decision after a long journey and deep considerations under many guidances of my spiritual fathers. O, Lord... have mercy on us!

I have submitted all the requirements to gain the civil rights after the marriage. What is bothering me for now is that I will put on a new "status", a new stage of my life. I will be a husband, and if God trusts me, I will be a father of my children. I shall provide the living of my family and have responsibilities on everything in it. And for all of them I just go with my love, a love that I believe it's just from God himself. It's the same love by which I was brave enough to be ordained as a priest on July 12th, 2000 ago. Actually I feel the differences, and a question occures in my mind: "Still having an obsession of the universal love, I should be attached with my wife and children. How should I love?"

For about 17 years of formation, I had been set up to live in celibacy. I realize that it isn't just like reversing a palm of hand to switch my railway track of my life. Instead of hidding the God's love, I just struggle to keep staying in his hand and loving him in this new stage of my life, in the limitations of my being. I just believe in his love, and without him I'm just nothing!

When I was ordained as a priest I quoted John 15,5c as my personal motto: "without me you can do nothing". It still applies on me to begin this new era. Oh my Lord Jesus Christ, have mercy on us sinners, and strenghten our faith, hope and love. ***
November 2007

WidgetBucks - Trend Watch - WidgetBucks.com