tag:blogger.com,1999:blog-72133533696796029332024-03-05T14:18:16.668-08:00Kandar's BlogKandar's Blog is a personal blog of a Catholic ex-priest who wants to keep running his role in the vitality of The Kingdom of God though in his weaknesses and limitations. He tries to keep living FAITH-HOPE-and LOVE in his life as a journey of a sacred pilgrimage. Indonesian language, but eventually in English.Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-36662486055344540692009-07-30T09:32:00.000-07:002009-07-30T09:40:17.887-07:00Setangkai Mawar Berduri untuk Perempuan Indonesia *)Oleh: <em>Agustinus Sukandar</em><br /><blockquote style="color: rgb(255, 153, 0);"><strong><strong><em>“Remember the Dignity of your womanhood. Do not appeal. Do not beg. Do not grovel. Take courage. Join hands, stand beside me, fight with me!”</em><br />(Ingatlah akan martabat Anda sebagai perempuan. Jangan cengeng. Jangan mengemis-ngemis. Jangan rendah diri. Berbesarhatilah. Mari bergandeng tangan, berdiri di samping saya, berjuang bersama saya!)</strong></strong></blockquote><strong></strong><br /><img style="position: relative; float: left; margin-right: 5px;" src="http://images.bornjavanese.multiply.com/image/7/photos/upload/300x300/SnG-wQoKCBoAAC4SZ0Q2/Cover-buku-Especially-for-You-Risa-Amrikasari.jpg?et=NfIMKwTPfSkjtIP%2Cv%2B3F5w&nmid=271351331" width="187" border="0" height="300" />PESAN Risa Amrikasari dalam buku terbarunya <em>‘Especially for You’</em> itu begitu kuat ditujukan kepada kaum perempuan. Misinya jelas: mengajak perempuan untuk bangkit dari ‘tidurnya’, dan bersikap tangguh dengan kesadaran yang cerdas tentang keluhuran martabatnya.<br /><br />Risa bahkan memberi <em>warning</em> di sampul belakang buku setebal 372 halaman itu, “Anda termasuk orang yang senang membaca hal-hal yang membuai dan menghayutkan? Anda tidak akan menemukan itu di buku ini. Jika Anda berharap menemukan tulisan-tulisan yang romantis ataupun lemah lembut, Anda akan sedikit tertoreh dengan kalimat-kalimat saya.”<br /><br />Dengan gaya bertutur yang tidak membosankan Risa menuliskan nukilan-nukilan pengalaman pribadi dari kehidupan sehari-hari ke dalam 65 judul artikel mandiri. Kenyataan yang sering diabaikan atau bahkan dihindari oleh orang-orang karena takut menyinggung perasaan, dia bongkar dengan teliti untuk kemudian mengemukakan sikap mana yang harus dikritisi dan diubah, serta mana yang patut dibela. Ia mengulas dari soal mengelola perasaan, kepercayaan terhadap pasangan, perselingkuhan, cinta dan pacaran, sopan santun, perkawinan, perselisihan pendapat, pelecehan seksual, seks di luar perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, urusan kantor dan pekerjaan, hingga soal tradisi, agama, bahkan birokrasi, politik, hukum dan perundang-undangan.<br /><br />Memang, buku ini ditujukan ‘teristimewa bagi perempuan’. Namun kaum laki-laki pun sebetulnya diam-diam menerima ‘kado’ yang sangat bernilai. Meski tema pokoknya adalah martabat perempuan <em>(womanhood dignity)</em>, namun siapapun – termasuk laki-laki – yang membaca artikel demi artikal dalam buku ini, seperti diajak me-<em>review</em> kembali pemahaman dan sikapnya berkaitan dengan keluhuran martabat sebagai manusia <em>(human dignity)</em>. Buku ini memberi model untuk sebuah upaya demi kemajuan dan kemerdekaan perbikir di Indonesia, terlebih untuk kaum perempuan yang enggan untuk bertatapan langsung dengan persoalan-persoalan esensial seperti itu.<br /><br />Rupanya Risa sadar betul, bahwa untuk membongkar kesaradan akan martabat perempuan tak akan tercapai bila menggunakan cara penyampaian deduktif, biarpun terstruktur serapi mungkin. Pengalaman empiris dari hidup sehari-hari menjadi jalan yang jitu, karena perempuan sangat akrab dengan hal-hal yang detil dan teliti, apalagi menyangkut wilayah ‘domestik’ dunia perempuan. Proses pergulatan Risa melalui medium pengalaman sehari-hari itu dia bagikan dengan kapasitasnya sebagai seorang perempuan yang tidak rela bila sesamanya rapuh dan menyerah pada konsep-konsep yang membelenggu.<br /><br />Dilahirkan 22 Oktober 1969, perempuan cantik ini dibesarkan dalam keluarga yang mendidiknya dengan penuh cinta dan rasa hormat. Bakatnya untuk cermat terhadap detil hidup sehari-hari dan tak bisa duduk berdiam diri berlama-lama dalam mengerjakan sesuatu, membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang cekatan, tangguh dan <em>resourceable</em> (bisa diandalkan). <em>“Always make a total effort, even when the odds are against you”</em> adalah kutipan favoritnya dari Arlnold Palmer.<br /><br />Lulusas Fakultas Sastera Inggris Universitas Nasional tahun 1994 ini sekarang sedang mendalami Ilmu Hukum di Program Magister Hukum UGM, sambil bekerja di International Organization for Migration sebagai Government Liaison Officer dan sebagai Associate pada Prihartono & Partners, sebuah kantor hukum di Jakarta. Buku pertamanya <em>‘You Need a GOOD LAWYER to Set You Free from the Jail of Your Heart’</em> sukses merebut hati pembaca. Tulisan-tulisan di blognya sangat diminati oleh penggemarnya.<br /><br />Tak heran bila tema-tema dalam artikel di buku yang kedua ini sangat kental dengan kasus-kasus yang bersinggungan dengan hukum dan tak jauh dari perjuangan hak-hak asasi serta martabat manusia terutama perempuan. Di artikel terakhir, <em>‘Perempuan, lawan kekerasan itu!’</em> secara mendetil Risa mengajak kaumnya untuk mengenali pasal demi pasal UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan yang bermartabat jangan sampai terjebak menjadi korban apalagi sebagai pelaku kekerasan domestik!<br /><br />Gaya bertutur Risa yang lugas enak dibaca, seperti mendengarkan seseorang yang curhat, ngerumpi, tetapi bermutu karena menggugah pembacanya untuk memakai cara pandang baru, bersikap positif dan cerdas, tidak hanya dikendalikan oleh emosi dan perasaan dalam hidupnya! <em>Remake yourself, refresh yourself!</em> (hlm. 40-47), sehingga ada ‘nyanyian baru’ dalam hidup pembaca.<br /><br />Meski beranjak dari pengalaman personal domestik keperempuanan, Risa Amrikasari berhasil memasukkan isu politis. <em>The personal is political.</em><br /><br />Isu ini populer dalam gerakan-gerakan feminis di Amerika pada paruh kedua tahun 70-an, dan mendapatkan ruangnya dalam proses kreatif para seniman perempuan Amerika <em>(feminist art)</em>.<br />Generasi pertama dari gerakan-gerakan feminis ini cenderung mengeksplorasi isu-isu multikulturalisme dan feminisme dengan berangkat dari pernyataan identitas perempuan dan upaya perlawanan. Simbol-simbol visual yang mereka gunakan, menyampaikan pesan secara verbal dan kontroversial. Mereka mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tubuh dan isu komodifikasi. Pengalaman keperempuanan ditatapkan dengan wilayah sosial, bahkan politik. Karya-karya mereka merupakan bagian dari gerakan politik untuk mendukung kesetaraan dan persamaan hak bagi perempuan. Dalam proses berkarya mereka langsung bersentuhan dengan problem riil dalam masyarakat, menciptakan diskusi dan pemikiran, menginisiasi perdebatan dan bersifat partisipatif untuk proses sosial.<br /><br />Alih-alih menggunakan bahasa yang verbal, generasi kedua cenderung menyampaikan kritisisme mereka dengan metafor. Pengalaman personal yang bersentuhan dengan isu-isu sosial-politik aktual menghadapkan mereka pada berbagai kontradiksi yang kemudian dituangkan dalam karya sebagai sebentuk kritisisme untuk membangun dialog yang berkaitan dengan isu tertentu. Relasi antara agama dan manusia, yang nyata dengan yang maya, harmoni dan ancaman, menjadi isu-isu yang mereka angkat. Dalam isu-isu itu ada semacam tuntutan tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.<br /><br />Sementara generasi ketiga menampilkan pengalaman personal dengan keinginan untuk merayakan dan membagikan pengalaman itu, bukan dengan spirit untuk melawan atau berpartisipasi menciptakan diskursus tertentu. Mereka cenderung 'menerima' situasi-situasi dimana perempuan mempunyai lebih banyak pilihan sebagai sesuatu yang <em>'given'</em>. Mereka ini umumnya tidak menjumpai kesulitan untuk berkontribusi dalam kehidupan publik. Karya-karya mereka dekat dengan budaya populer.<br /><br />Risa Amrikasari pasti mengerti tentang pola-pola dalam gerakan para seniman perempuan, dan sadar betul tentang porsi mana yang pantas diberikan kepada kaum perempuan Indonesia. Di sinilah, kepiawaian Risa ditampilkan dalam membagikan gagasan-gagasan perubahannya. Mungkin ciri pertama terkesan begitu kuat. Namun barangkali perempuan Indonesia saat ini memang harus ‘digebrak’ dengan pendekatan seperti itu.<br /><br />Untuk membaca tulisan-tulisan Risa Amrikasari dalam buku ini rasanya tak perlu memasang ‘kuda-kuda’ terlebih dahulu seperti mau bertempur menghadapi lawan yang asing. Namun yang dibutuhkan adalah hati yang terbuka, seperti kedua belah telapak tangan yang menyambut setangkai mawar merah dari pribadi yang benar-benar tulus mencinta. Mawar itu harum wangi, meski tangkainya bisa saja berduri… <span style="color: rgb(51, 102, 255); font-weight: bold;">[skd]</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;">Judul buku : </span><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;">Especially for You, A collection of Self Motivation Articles for Tough Women Only.</span> <span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;"><br />Penulis : Risa Amrikasari</span> <span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;"><br />Penerbit : Rose Heart Publishing</span> <span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;"><br />Editor : Risa Amrikasari</span> <span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;">Edisi : Cetakan pertama, 2009</span> <span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;"><br />Percetakan : PT. Gramedia, Jakarta</span> <span style="color: rgb(255, 153, 0); font-weight: bold;">Halaman : xx +352</span><br /><span style="font-style: italic;"><br />*) Dimuat di halaman opini Harian Merdeka, Kamis, 30 Juli 2009.</span>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-14993515664796851602009-07-16T21:49:00.000-07:002009-07-16T22:11:05.093-07:00Tarmin* (Cerpen)<blockquote><span style="font-style: italic;">Pagi ini terjadi ledakan bom di Mega Kuningan, Jakarta. Sebuah peristiwa yang mengingatkanku pada peristiwa serupa tahun 2004 lalu. Peristiwa seputar ledakan bom waktu itu menginspirasikanku untuk menulis sebuah cerpen berjudul Tarmin di bawah ini. Pernah dimuat di Mingguan HIDUP, edisi Februari 2005.</span></blockquote><br /><span style="font-weight: bold;">TARMIN</span><br />Oleh: <span style="font-style: italic;">Ag. Sukandar</span><br /><br />Tarmin dengan sabar menunggui gerobak teh botolnya. Sesekali dia melayani pembeli dari antara kerumunan orang yang beberapa hari ini membuat jalanan macet. Omzet penjualan teh botolnya naik dua kali lipat semenjak kemarin lusa.<br /><br />Sebetulnya Tarmin menyembunyikan kebingungan di sudut hatinya. Dia bertanya, apakah ini suatu berkah atau kutukan. Kalau berkah, mengapa justru mengalir dari darah dan potongan-potongan tubuh yang pernah tercecer di ruas jalan itu. Kalau kutukan, mengapa sekarang keuntungan yang dia peroleh berlipat ganda. Atau, jangan-jangan ini bagian dari kutukan yang karmanya akan dia terima entah suatu saat nanti. Tetapi, ah... mengapa pusing-pusing menjawab pertanyaan yang tak mungkin mampu dia jawab itu. Aku toh bukan rohaniwan, agamawan, moralis, apalagi filsuf. Penjual teh botol gerobak, iya! Dan yang jelas, bukan teroris atau provokator!<br /><br />Rupanya Tarmin tidak tahu bahwa soal identitas seseorang belakangan sempat membuat setiap HRD manager kantor sepanjang jalan itu kelabakan. Di antaranya bahkan ada yang baru mulai berpikir mengenai ID Card untuk karyawannya. Mereka baru sadar, betapa pentingnya secarik kartu laminatingan yang dikalungkan di leher atau dijepitkan di dada. Di situ tertera nama, jabatan, dan nomor induk dari tempat si pemakai bekerja. Kalau terjadi apa-apa atas diri karyawannya, segera sang manager tahu, dan segera mengurus klaim asuransi atau jaminan ini-itu. Kartu itu bisa menjadi passport masuk gedung perkantoran megah di Jl. Sudirman. Bahkan, yang tercanggih sekaligus bisa digunakan untuk kartu kredit berbelanja atau untuk mencairkan gaji di ATM. Gesek sedikit, beres!<br /><br />Tarmin tak punya itu. Ada, KTP lusuh, tetapi masih berlaku. Barangkali kalau dia kena bom, KTP-nya itu akan hancur juga berkeping-keping. Selanjutnya, akan ada judul di koran 1000 rupiahan yang dijual di lampu merah, “Penjual teh botol tewas kena ledakan bom!”<br /><br />Namun, sekali lagi Tarmin saat ini tidak berpikir akan hal itu. Mungkin karena dia bukan bawahan atau tanggung jawab siapa-siapa. Dia menjadi bos bagi dirinya sendiri, meski hanya sebagai penjual teh botol gerobak dorong. Soal ID Card, cukuplah KTP lusuhnya. Kalau itu hancur juga karena kena bom misalnya, ya sudah! Kalau memang begitu cara dia akan mati, yang bagaimana lagi! Soal ini dia percayakan kepada Yang Di Atas. Pasrah.<br /><br />Saat ini hatinya lebih digusarkan oleh pertanyaan tadi. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Sepertinya ada segoncangan teror atas identitasnya sebagai penjual teh botol pasca ledakan bom di tempat dia mangkal sekarang ini. Dia digoncang oleh pertanyaan, apakah aku adalah orang yang mengambil keuntungan dari sebuah tragedi! Barangkai perasaan ini terlalu berlebihan. Tetapi, itulah Tarmin, seorang urban baru dari pelosok desa yang mudah berempati pada penderitaan orang lain. Sementara dia tidak tahu jawaban atas pertanyaannya itu, entah mengapa sambil membukakan tutup teh botol dan memasukkan sedotan plastik ke dalamnya untuk “penonton masterpiece sang teroris” yang kehausan, dia membatinkan sebuah doa untuk para arwah jenazah yang sekarang masih di rumah sakit.<br /><br />Dia berdoa, “Ya Tuhan, semoga mereka beristirahat dalam damai. Dan semoga rejeki yang aku terima ini tidak membawaku kepada kegelapan azab neraka, melainkan kepada hidup yang penuh syukur dan ampunan dari-Mu.” Dengan doa itu rasa bersalahnya seperti telah dia bayar. Hatinya sedikit terasa nyaman. Doa itu dia ulang-ulang menjadi sebaris dzikir sembari menunggu ada pembeli memesan teh botolnya. Mulut hatinya mengucapkan doa itu meski matanya sibuk mengikuti lalu-lalang orang dan kendaraan di depannya.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br />“Mas, kalau mau ke Kampung Melayu sebaiknya lewat mana ya?”<br /><br />Tiba-tiba doa si Tarmin terhenti oleh pertanyaan seorang cewek muda yang sedang dia layani. Dia sudah puas motret sana motret sini dengan kamera HP-nya. Dia memesan 2 teh botol, yang satu untuk seorang lelaki sebayanya yang menunggu di atas motornya.<br /><br />“Oh, Kampung Melayu... Hmmm..., Mbak ambil jalan ini lurus ke Selatan, sampai di jembatan layang, ambil jalan ke Timur. Nah, lurus saja nanti akan ada papan petunjuk.”<br /><br />“Selatan itu mana sih, Mas? Aku bingung mana Utara-Selatan Timur-Barat di Jakarta ini. Lebih mudah kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, hehe...”<br /><br />Kemayu juga ini cewek, pikir Tarmin, mengamati caranya bicara. Cewek itu senyam-senyum tanpa memandang Tarmin, karena mata dan jempol jari tangannya sibuk dengan HP berkamera seharga kira-kira 4 ekor kambing jantan itu.<br /><br />“Jalan ini arahnya Utara-Selatan. Nah Selatan itu sono...” terang Tarmin sambil menunjuk arah mataangin yang dimaksud.<br />“<br />Makasih ya Mas...”<br /><br />Kasihan. Soal kiblat mataangin, cewek Jakarta ini tidak tahu! Tarmin segera ingat beberapa pembicaraan orang muda saat ngerumpi soal arah, ke arah mana harus ke Mall Mangga Dua, letak Casablanca dari arah Grogol, dsb. Bukan Utara-Selatan Timur-Barat yang dia dengar. Tetapi hanya kiri-kanan. Mungkin kiblat yang berlaku di Jakarta hanya itu: kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah! Mungkin mereka tak pernah melihat di mana matahari terbit dan terbenam, meski mereka percaya kalau matahari terbit di Timur dan tenggelam di Barat.<br /><br />“Min, bapak pesan, di Jakarta kamu jangan sampai <em>kelangan kiblat!</em> Apa pun yang terjadi. Dengan itu kamu masih bisa pulang .... Dengan itu pula kamu tahu bagaimana harus sujud berdoa ...” tiba-tiba pesan bapaknya sebelum Tarmin merantau ke Jakarta ini terngiang kembali.<br /><br />Tarmin tidak melupakan itu. Hanya sekarang dia memahami dimensi lain mengenai kiblat yang mesti dia pegang di Jakarta. Kiblatnya menjadi simpel, tetapi bisa berakibat fatal. Cita rasa moral-religius-simbolisnya sebagai orang Jawa pelosok mencoba menterjemahkan hal ini. Sederhana sekali: kiri berarti salah, kanan berarti benar; belakang berarti mundur, depan berarti maju; atas berarti kejayaan, dan bawah berarti kekalahan. Entah mengapa, Tarmin tiba-tiba merasa menjadi orang yang harus bijaksana di Jakarta ini. Dalam bahasa Tarmin, bijaksana berarti <em>ndalan</em> (Jw.: setia berada di jalan yang benar), yaaah.... meskipun saat ini dia baru bisa di pinggiran jalan. Bijaksana di Jakarta berarti harus punya orientasi yang jelas, bukan hanya soal arah mataangin, tetapi soal bagaimana orang harus hidup. Saat-saat pertama tiba di Jakarta, Tarmin hampir selalu dipusingkan oleh macam-macam pertanda alam yang harus dia maknai sendiri. Apa yang terjadi di jalan telah berbicara mengenai banyak hal kepadanya tetang kehidupan di belantara kota Jakarta ini. Saking banyaknya, hampir-hampir dia tergoda untuk mengabaikannya saja, daripada gila karena adanya konflik batin antara yang semestinya dilakukan dan yang sudah lumrah dilakukan banyak orang. Hampir-hampir dia tergoda untuk berprinsip, “Kalau mau hidup di jalanan Jakarta, jangan ikut aturan! Bisa-bisa malah celaka!”<br /><br />“Aku tidak mau celaka!” pekik Tarmin dalam hati.<br />“Tetapi aku tidak mau bersembunyi dari matahari di Timur dan Barat!” sekali lagi Tarmin menegaskan dirinya, “Entah apa pun yang terjadi .....”<br /><br />Cewek dan cowok tadi sudah pergi ke Selatan, dengan 4 ekor kambing tergantung di tali HP yang melilit leher cewek itu. Tarmin masih setia di pinggir jalan dekat lokasi tragedi. Botol-botol teh di gerobak Tarmin mulai banyak yang melompong kosong. Jalan itu makin ramai saja menjelang hari gelap kali ini. Polisi masih memasang posko keamanan, dan petugas investigasi masih sibuk periksa ini-itu. Sekali waktu jeprat-jepret lampu blitz dan sorot lampu kamera reporter televisi menerangi sudut-sudut tertentu, dan barangkali besok hari ada berita dan liputan kecil dari mereka di media masa. Pembaca, pendengar dan pemirsa tentu menanti-nanti, apakah ada yang baru yang belum aku ketahui? Mereka beli koran, setel radio dan televisi, berharap akan berita baru yang lebih sensasional.....<br /><br />“Yaaa..... se-sensasional segarnya teh botol di gerobakku ini, ketika mengalir membasahi kerongkongan orang yang kehausan!” pikir Tarmin sambil meneguk sediri teh botol terakhir yang tersisa di gerobaknya.<br /><br />“Betul! Sama sensasionalnya!” Tarmin tersenyum. Sepertinya dia sedikit memahami jawaban atas pertanyaannya tadi. []<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Jakarta, 6 Desember 2004</span><br /><br />* Pernah dimuat di Mingguan <em>HIDUP,</em> edisi Februari 2005.Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-54447724144125265702008-12-10T03:21:00.000-08:002008-12-10T04:07:10.280-08:00"Nonton" penggusuran di Kali Buaran<a href="http://images.kompas.com/detail_journal.php?view=2041"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5278122503534241618" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 240px; TEXT-ALIGN: center" alt="Penggusuran di Duren Sawit" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzk2vf5q6328afuENn-4Blr2hfQvxf9domIoEY2WaXZlVILnoXm-1X9D7_HDROIhCJJVH7pAbWqCAkpRyrFWKij1wHi8q8-IYvXhKvmvdhtP83O5yseQZnjRuvo2MlJflzb8tiIz5GplQ/s320/Penggusuran+di+Duren+Sawit.bmp" border="0" /></a><br /><em>Lihat juga:</em> <a href="http://bornjavanese.multiply.com/photos/album/14/Penggusuran_tepi_Kali_Buaran" target="_blank">Foto-foto penggusuran di Kali Buaran</a>.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Sumpah! Baru pertama kali ini</span></strong> aku menyaksikan peristiwa penggusuran. Biasanya aku hanya melihat di televisi, atau membaca di surat kabar. Saking seringnya berita di media massa tentang penggusuran di negeri ini, terlebih di Jakarta, sampai-sampai peristiwa semacam itu tak menimbulkan efek hati yang begitu dalam: mati rasa! Aneh!<br /><br /><span style="color:#ff9900;"><strong>Tetapi aku yakin,</strong></span> bagi warga yang mengalaminya peristiwa itu jelas menorehkan kesan pedih tak terlupakan. Meskipun secara hukum mereka tidak mempunyai hak untuk menempati lokasi tergusur, tetapi peristiwa penggusuran tetaplah merupakan problematika yang pantas diperhatikan, terutama dari sisi sosial dan kemanusiaan.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Itulah yang sempat aku saksikan tadi pagi.</span></strong> Ratusan rumah warga di tepi bagian barat Kali Buaran, Durensawit, Jakarta Timur dirobohkan satu per satu dengan <em>backhoe</em> oleh ratusan petugas Satpol PP, Rabu (10/12/2008). Meski sudah berkali-kali warga berdemo untuk menolak penggusuran itu, namun mereka harus pasrah menyaksikan rumahnya dirobohkan. "Gusuran ini untuk normalisasi Kali Buaran dan mencegah pendangkalan," kata Kasudin Trantib Jakarta Timur Tiangsa Surbakti di lokasi, seperti dikutip <a href="http://www.detiknews.com/read/2008/12/10/094020/1050938/10/871-rumah-di-bantaran-kali-buaran-digusur" target="_blank">DetikNews</a>, Rabu (10/12/2008).<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Sejauh yang aku saksikan </span></strong>tadi pagi, memang tidak ada perlawanan berarti dari warga. Menurut beberapa warga sekitar lokasi, sebenarnya surat peringatan untuk segera meninggalkan daerah tepi Kali Buaran itu sudah disampaikan kepada para kepala keluarga di tempat itu. Ratusan petugas Satpol PP dapat menjalankan tugasnya dengan leluasa. Warga hanya menyaksikan rumah mereka satu per satu dilibas dengan alat berat. Beberapa tak sempat mengamankan barang-barang kepunyaan mereka. Namun beberapa bahu membahu bisa segera memindahkan harta kekayaan mereka ke seberang kali.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Penggusuran,</span></strong> rasanya pantas menjadi <em>moment of awareness - </em>saat pembelajaran dan penyadaran bagi siapa pun tentang hak warga negara dan hak negara. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa di lokasi itu bisa dengan leluasa didirikan bangunan rumah tinggal dan berlangsung bertahun-tahun? Ada pembiaran atas sebuah kekeliruan! Dampaknya, torehan kepedihan di hati yang sebenarnya tak perlu terjadi. <strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-2067193721653275302008-10-29T21:24:00.001-07:002008-10-29T21:32:24.685-07:00Asyik dengan lalat!<div style="TEXT-ALIGN: center"><img style="BORDER-RIGHT: #000000 0px solid; BORDER-TOP: #000000 0px solid; BORDER-LEFT: #000000 0px solid; BORDER-BOTTOM: #000000 0px solid" alt="" src="http://farm4.static.flickr.com/3058/2984070864_4c08dddd27.jpg" /><br /><span style="MARGIN-TOP: 0px;font-size:0.8em;" ><a href="http://www.flickr.com/photos/bornjavanese/2984070864/">Flies - Morning Talk</a>, originally uploaded by <a href="http://www.flickr.com/people/bornjavanese/">BornJavanese</a>.</span></div><p><strong><span style="color:#ff9900;">Entah mengapa,</span></strong> sejak aku gandrung lagi pada fotografi setelah beberapa waktu kamera Nikon F10-ku hilang dicuri malind di Gua Kerep Ambarawa, binatang ini selalu menarik perhatianku: lalat hijau (laler-ijo). Sampai-sampai aku mencari tahu nama Latin dari serangga yang terkenal menjijikkan ini. Ternyata banyak variannya. Yang aku yakin sering aku jepret adalah jenis <em>Chrysomya megalocephala</em>, sebuah nama yang cantik di balik reputasinya yang jelek! Coba bukan berarti laler ijo, pasti menjadi pertimbangan untuk nama calon anakku yang sekarang genap tujuh bulan dalam kandungan!<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Begitu perhatian sama si laler,</span></strong> aku pernah menulis beberapa insight - makna rohani - tentangnya <a href="http://natural-wisdom.blogspot.com/search/label/flies">di blog-ku yang lain.</a> Di blog yang khusus aku buat untuk kreativitasku ber-fotografi juga sering aku upload gambar serangga ini sebagai <a href="http://wallpaper-4you.blogspot.com/search/label/Insects">wallpaper.</a> Dan kini aku merasa perlu untuk mencerna memperhatikan, apakah ada pesan tersendiri di balik semua itu.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Kira-kira sebulan lalu</span></strong> boss-ku di kantor bercerita tentang pengalaman unik berkaitan dengan lalat. Semenjak bapaknya meninggal, demikian beliau bertutur, setiap kali beliau "jagongan" minum teh atau kopi, tidak hanya di rumah namun di hotel berbintang sekalipun, selalu ada seekor lalat gedhe yang berseliweran di depannya. Kadang binatang itu hinggap di meja atau di gelasnya. "Entah mengapa bisa begitu," ujar beliau bertanya-tanya.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Aku hanya berkomentar sedikit,</span></strong> "Lalat itu sukanya di tempat kotor dan berbau busuk, Pak! Hahaha.... Jadi..." Hehehe... aku ra wani melanjutkan! Agak bercanda tetapi mungkin sedikit menohok! Beliau pun mengerti akan hal itu, jelas.<br /><br />"Tetapi aku pernah membuat tulisan makna rohani tentang lalat ijo, lho Pak! Dia itu kalau menyendiri, apalagi hinggap di tempat istimewa seperti bunga misalnya, kelihatan cantik. Barangkali saat itu dia sedang retret! Hahaha... Maksud saya, binatang itu tampak indah pada waktunya. Ah, mungkin Bapak harus mencerna pesan rohani yang ada di balik pengalaman bersama lalat itu, deh!"<br /><br />Beliau tidak melanjutkan... kelihatannya hanya berhenti di situ saja, entahlah.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Sekarang malah ganti aku yang terusik,</span></strong> mengapa aku suka mengambil foto lalat. Mungkinkah aku sekarang ini sedang asyik dengan hal-hal yang sebetulnya kotor dan berbau busuk, hal-hal yang potensial membuat sakit? Mungkinkah aku sekarang ini sedang bergelut dengan perkara-perkara yang semestinya segera aku sudahi? Okelah... rasanya ini pesan penting bagiku dari alam.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Sementara itu,</span></strong> lalat memang selalu ada di mana-mana.... Dan jangan lupa, di jaman Nabi Musa dulu binatang ini pernah dipergunakan Allah untuk memperingatkan raja Firaun yang keras kepala! <strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong></p>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-36401216870900250602008-09-28T19:17:00.000-07:002008-09-28T20:22:31.961-07:00Diplonco jadi dirigen!<img style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px" height="500" alt="Pertama kali ngikut misa lingkungan" src="http://farm4.static.flickr.com/3012/2896762219_38272cf6b8.jpg" width="375" /><em>Namanya juga warga yang baru dikenal lingkungan, jadi masih manutan! Hehehe...<br /></em><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Adalah Rm. Meus, CSsR.,</span></strong> yang gak tahan lagi untuk memperkenalkan aku di lingkungan Darmojuwono, Curug, Kalimalang, pada saat misa lingkungan. Pasalnya, Beliau sudah mengenalku sejak mengenyam pendidikan di Mertoyudan dulu. Sekitar dua tahun lalu aku main ke pasturan dan ngobrol dengan segudang cerita dan kenangan. Waktu itu aku tanya, di Paroki St. Leo Agung ini aku termasuk di lingkungan mana. Kalau tidak salah, begitu beliau bilang, lingkungan Darmojuwono. Terus aku dikasih nomor telepon tokoh umat yang bisa aku hubungi. Sampai saat ini nomor itu tak pernah aku pencet, malah kayaknya sudah ilang <em>deh</em>. Dan baru Selasa, 09 September 2008 lalu Beliau pertama kali melihatku menghadiri misa lingkungan. "Saudara-saudara sekalian, rasanya saya harus memperkenalkan teman saya ini. Saya kenal sejak di seminari, dia ini pintar menyanyi, seorang dirigen koor yang baik...bla...bla...bla..." Beberapa tokoh umat pun langsung menyahut, "Boleh tuh! Koor lingkungan kita selama ini kurang semangat, dirigen seadanya... Mas, besok tugas koor jadi dirigen ya!"<br /><br /><em><strong><span style="color:#ff9900;">"Sendika dhawuh..."</span></strong></em> warga baru gimana mau menolak?! Apalagi sudah diperkenalkan oleh Pastornya!<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Jadilah,</span></strong> Jumat, 26 September kemarin aku nglatih koor di rumah Bp. Sianipar. Padahal waktu itu kondisiku sangat lemas, habis demam tinggi dan diare tiga hari! Keringat dingin keluar deras sekali, bukan karena grogi, tetapi karena menahan lemes.... Aku belum berani macam-macam. Koor satu suara, okelah...asal lagu-lagu dinyanyikan dengan benar dan dijiwai secara betul. Lagipula, kesempatan latihan koor sudah tidak memungkinan untuk berkreasi. Latihan hanya sekali, langsung tancap di Minggu sore, 28 September kemarin!<br /><br /><span style="color:#ff9900;"><strong>Entah apa komentar umat.</strong></span> Pertama-tama mungkin sedikit bertanya-tanya, kok ada wajah baru di kelompok koor itu; tangannya <em>pating kethuwil </em>dari sosok laki-laki pucat kurus berbaju batik lengan panjang. Aku tidak begitu peduli. Namun.... perploncoan bisa berjalan tanpa kesulitan berarti.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">"Besok lagi, ya Pak Kandar!</span></strong> Kita cari lagu-lagu baru empat suara!" kata Pak Sianipar, sang ketua lingkungan penuh harap. <strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-719679669787009662008-09-21T20:35:00.000-07:002008-09-21T21:09:08.360-07:00Re-motivasi<center><a title="Oxidation-Energy by BornJavanese, on Flickr" href="http://www.flickr.com/photos/bornjavanese/2688946576/"><img height="380" alt="Oxidation-Energy" src="http://farm4.static.flickr.com/3249/2688946576_e88055de99.jpg" width="500" /></a></center><p><br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Akhir-akhir ini</span></strong> kepalaku sering puyeng kalau memikirkan masa depan: 5 tahun ke depan akan jadi apa hidupku? Tempat kerja sedang dilanda masalah berat dan hampir tidak menjanjikan perubahan baik karena kebijakan-kebijakan yang tak masuk akal orang beriman; sementara itu aku merasa sebagai orang yang "minim" kompetensi menurut penilaian profesional. Ada keinginan untuk cabut dari tempat kerja sekarang, tetapi diri ini masih belum begitu <em>pe-de</em> untuk bertindak. Apa toh yang bisa aku <em>jual </em>dari diri ini? Lima tahun jalan sepertinya bukannya tambah pinter, tapi malah tambah <em>bodho. </em>Maklum... "penjara" idealisme masa lalu kadang masih begitu kuat. Banyak angan-angan dimentahkan oleh realita baru yang kadang mengejutkan. Dulu aku fasih berkata-kata, namun sekarang seolah kata-kata itu lenyap dari kepala... Padahal, bagiku kata-kata adalah kekuatan hidup. Layaknya <em>Sang Sabda</em>, Sang Kata-kata adalah sumber cahaya untuk melangkah.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Kamis, 18 September 2008</span> </strong>lalu aku tiba-tiba didaulat untuk memandu Pendalaman Kitab Suci di lingkungan. Tanpa persiapan, <em>ngalor-ngidul</em>. Sama sekali fatal buatku. Tetapi justru dari peristiwa itu aku menjadi tersadar, betapa <em>Sang Sabda </em>itu adalah sumber kekuatan hidup sebagai orang beriman, bukan saja sebagai orang yang sedang berjuang mencari nafkah. Kembali kepada <em>Sang Sabda </em>kiranya adalah ajakan untuk mengembalikan kekuatan hidup yang sedang <em>loyo </em>dan sempat ter-demotivasi oleh situasi ini!</p><p><em>"Ya Roh Kudus, bakarlah jiwaku dengan Sabda-Mu!"</em> <strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong><br /></p>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-36915546012025928062008-09-21T19:48:00.000-07:002008-09-23T20:48:27.779-07:00A little movement<strong><span style="color:#ff9900;">Few seconds before</span></strong> I wrote this post, I deleted a text-widget, which described about this blog and information about who I am. I did it not because I ashamed of the description, but I felt something negative that gave me no help to write stories of my daily life gratefully! It was melancholic sphere, which dominated my writings, had entrapped me so much due to the display of the description right on the first view of this page! It set me up into that negative impact. So, I moved it into the first post of this blog.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Maybe</span></strong> it does not make this blog more popular and eye-catching. No problem with that, and I don't care! I just care of the grateful-living spirit to be the mean soul of the writings I post on here. A little movement for the bigger change! I hope so...Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-26193451668846494432008-09-04T21:36:00.000-07:002008-09-05T05:02:22.497-07:00Jadi umat lingkungan<span style="color:#ff9900;"><strong>Semalam aku ikut pendalaman Kitab Suci</strong></span> di Lingkungan Darmojuwono, paroki St. Leo Agung Kalimalang. Itu pun karena ada undangan dari sekretaris lingkungan. Semula aku terheran, soalnya tak satupun umat Katolik yang kukenal di tempat aku ngontrak. Rupanya ibu pemilik rumah yang ditempati semalam memperoleh informasi tentang keberadaanku dari tetanggaku yang kebetulan mburuh setrika di keluarganya.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Syukurlah.</span></strong> Sekitar dua tahun lalu sebetulnya aku sudah "melaporkan diri" ke Romo paroki, Rm. Meus, CSsR, sekalian menanyakan aku ini masuk lingkungan mana. Namun karena tidak ada informasi berikutnya - dan saya juga masih gamang untuk dikenal umat lingkungan - usahaku terhenti di situ. Tapi, malam tadi menjadi obatnya. Aku kira Tuhan memberi jalan supaya keinginanku bergaul dengan umat itu dilanjutkan. Aku tak mungkin menolak.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Beda</span></strong> dengan ketika aku di tempat kakaku di Cimanggis yang umatnya sudah mengenalku semenjak masih jadi imam dulu dan aku sering terlibat dalam kegiatan di lingkungan, semalam aku merasakan sesuatu yang lain dan baru. Jelas, mereka belum mengetahui siapa saya ini dulunya, dan ini merupakan pertolongan buatku - sekurangnya untuk sementara. Tak ada rasa curiga dari mereka, so... pendalaman Kitab Suci semalem berjalan seperti biasa, hanya ditambah kedatangan sosok-sosok warga baru yang memperkenalkan diri: aku, Herman Malli, Paul, dan Tanto. Untungnya, teman-temanku itu tidak <em>"keprucut"</em> menyebutku "Romo" seperti yang biasa mereka lakukan setiap hari.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Aneh rasanya... <em>"... as if I'were truly nothing!"</em></span></strong> Selama bapak pemandu menjalankan tugasnya, kepalaku penuh dengan ingatan layaknya seorang pastor yang sedang mendampingi umatnya. Namun mata hatiku mengajak pada sebuah pemandangan tentang bagaimana Roh Allah senyatanya berkarya dalam kebersahajaan. Apa pun yang sang bapak itu sampaikan seolah-olah merupakan hembusan angin yang menari-nari di depan mataku. Aku bisa menilai seberapa memahami beliau akan Kitab Suci, sejarah dan ajaran Gereja. Tetapi, stoooop....! Dia itu sedang menjalankan tugasnya, melayani karya Roh Allah. Aku tergoda untuk menyampaikan "pemahamanku" yang bisa bla...bla...bla... Tapi, stoooop...! Barangkali belum saatnya...<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Tema Bulan Kitab Suci KAJ 2008</span></strong> ini membahas kemurahan hati Allah. Pertemuan pertama mengambil inspirasi dari Matius 25:31-46 tentang penghakiman terakhir. Memang aku sempat menyampaikan sedikit <em>sharing </em>tentang bagaimana perikop itu berbicara padaku dalam hidup keseharian, bahkan memberi inspirasi bagaimana dasar iman kristianiku terletak, bahkan menjadi salah satu hal yang kini aku perjuangkan di cara hidup yang sekarang aku jalani ini. Namun... itu jauh berbeda dibanding saat menjalankan fungsi imami. Bedanya, sekarang ini aku berbicara sebagai seorang umat "biasa" yang sedang lebur dalam tarian angin sepoi-sepoi seperti sang bapak pemandu. Sementara yang "dulu", seolah-olah aku bisa membuat badai!<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Aaaaah... tapi itu dulu....</span></strong> Sekarang, aku ini seorang umat lingkungan, yang menari-nari karena angin sepoi-sepoi... <strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-40983735191321371402008-07-15T21:15:00.000-07:002008-07-16T19:30:04.930-07:00Garis Bawah - Secuil kesan bersama Rm. Pujasumarta<a href="http://pujasumarta.multiply.com/photos/album/19/Poster_Tahbisan_Uskup_Bandung#1" target="_blank"><img alt="Mgr. J. Pujasumarta" height="425" src="http://images.pujasumarta.multiply.com/image/32/photos/19/1200x1200/1/Poster-satu.jpg?et=QLFSXcQC7vrBrh%2B8RGc%2CoA&nmid=101862516" style="float: left; margin-bottom: 15px; margin-right: 15px;" width="300" /></a><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<blockquote><div align="right"><em>"Ndar... piye kabarmu? Apik toh?<br />
Piye 'garis bawah'-e?"</em></div></blockquote><br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Begitu tanya Romo Puja suatu sore</span></strong> ketika berjumpa denganku di salah satu gang di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan. Ketika itu aku sudah menjadi imam; sapaan dan pertanyaan seperti itu membuatku sedikit tersentak.<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;"></span></strong><br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Sejenak ingatan ini melesat ke tahun 1991-1992 </span></strong>ketika aku masih menjalani pendampingan di Tahun Rohani Jangli, Semarang. <em>"Garis Bawah"</em> adalah sebuah judul dari makalahku yang dipresentasikan di Sidang Akademi yang biasa diadakan setiap Minggu sore. Judul itu adalah kata kunci dari pengalaman makna rohani yang aku sharingkan di forum sidang itu bersama kelompok basisku<em>.</em><br />
<em></em><br />
<em><strong><span style="color: #ff9900;">"Garis Bawah"</span></strong> </em>adalah istilah untuk menyebut "tanda-tanda", "sinyal-sinyal" akan adanya petunjuk-petunjuk dari Allah atas perjalanan rohani sebagai orang beriman, yang tersamarkan dalam peristiwa hidup sehari-hari. Aku membagikan pengalamanku tentang bagaimana mengenali tanda-tanda bimbingan Allah itu dengan inspirasi dari pengalaman kabar gembira yang diterima Bunda Maria dan buku Latihan Rohan St. Ignatius Loyola. Allah menuntun hidupku dengan sabda-Nya. Sabda itu terdengar jelas ketika Kitab Suci dibacakan, namun kadang tersamar dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Emosi, empati, harapan, kegembiraan, kesedihan... semuanya bisa menjadi medan di mana Allah sungguh berbicara. Bila hidup sehari-hari diibaratkan sebagai sebuah kalimat yang sedang dibaca, pengalaman-pengalaman "istimewa" dan mengesankan itu adalah torehan garis bawah yang patut diperhatikan. Begitu biasanya saat orang sedang membaca buku dan membuat garis bawah terhadap beberapa kata maupun kalimat yang mengesankan. Pengalaman-pengalaman itu kemudian dicerna untuk menjadi dasar langkah hidup selanjutnya. Itulah proses <em><span style="color: #ff9900;">"discernment",</span> </em>sebuah kata penuh makna yang demikian populer di kalangan para frater waktu itu, boleh diartikan sebagai "menimbang perkara" atau <span style="color: #ff9900;"><em>"maneges karsa Dalem Gusti"</em>.</span> Kata itu sedemikian menggetarkan jiwa setiap kali muncul dalam pembicaraan atau bincang-bincang saat <em>colloquium </em>pribadi. Adalah Romo Puja yang memperkenalkan istilah itu kepada kami. Beliau adalah rektor kami di Tahun Rohani yang jeli dan teliti memperhatikan dan mendampingi para frater demi frater.<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Jadi,</span></strong> <em>"garis bawah" </em>dalam sapaan sore itu terdengar di telinga ini sebagai <em>"discernment"!</em><br />
<em></em><br />
<strong><span style="color: #ff9900;"><em>"Gila!" </em>batinku.</span></strong> Romo Puja masih ingat sharingku di Sidang Akademi yang terjadi nun bertahun-tahun sudah berlalu! Aduh, dengan senyumnya yang tulus saat menyapaku seperti itu membuatku merasa sedikit <em>flattered! </em>Ada semacam <em>personal touch </em>di balik sapaan basa-basi itu yang sampai saat ini masih terasa istimewa. Entah beliau menyadari atau tidak, yang jelas aku merasa tersanjung: "Eh, ada sesuatu yang berkesan dariku bagi beliau!"<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Meskipun berwajah brewok</span></strong> dan terkesan menyeramkan (namun kadang terlihat lucu <em>tur </em>lugu), namun hatinya lembut dan teduh menyejukkan penuh keakraban seperti figur ibu yang hadir dengan rengkuhannya. Kesan itu masih terpancar dalam sapaan sore itu. Betapa tidak, kondisiku saat itu sebetulnya memang sedang merasa tidak nyaman dengan diri sendiri. Aku yakin beliau mengetahuinya. Dengan menyebut "garis bawah" seolah beliau ingin mengajakku kembali ke semangat awal, <em>back to the origin, </em>ke saat-saat penuh rahmat di Jangli!<br />
<br />
<br />
<br />
<div align="center"><strong><span style="color: #ffff66;">***</span></strong></div><br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Tahun-tahun berlalu sudah.</span></strong> Aku sudah mengundurkan diri dari jabatan imamat dan meneruskan peziarahan dalam konteks pelayanan umum dan mencari nafkah di Jakarta. Internet dan <em>blogging </em>menjadi duniaku yang kedua, di mana aku bisa menuangkan gagasan dan berbagi pengalaman melalui dunia "maya" ini. Aku pikir, mungkin di sini juga aku masih bisa berperan dalam rangka karya Allah selain juga pengembangan diri dan karir untuk membantu menopang hidup.<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Ketika <em>browsing</em> dan </span></strong><em><strong><span style="color: #ff9900;">blog-walking,</span></strong> t</em>iba-tiba aku dikejutkan oleh satu hal: Rm. Vikjen. Pujasumarta memiliki <em>account </em>di <a href="http://pujasumarta.multiply.com/">Multiply.com</a>! Busyeeeet...! Serta-merta aku aktifkan lagi akunku di Multiply yang lama tak kuurus. Beliaulah orang pertama yang aku <em>invite </em>ke dalam <em>contact-list-</em>ku. Hmmm... memang tidak mau ketinggalan zaman si romo brewok yang satu ini, batinku. Seingatku, sejak beliau memiliki <em>laptop </em>sendiri, beliaulah yang memakai <em>PowerPoint </em>saat presentasi dalam pertemuan romo-romo KAS! Saking getolnya beliau <em>learning-by-doing </em>untuk memanfaatkan sarana-sarana canggih seperti itu, sampai-sampai beberapa romo menyampaikan kritikan atas hal itu: "Romo Vikjen kian asyik dengan laptopnya hingga penyampaian materinya terasa garing!"<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Namun dalam hati aku pernah beranggapan,</span></strong> ah... paling juga cuma sebentar keranjingannya, namanya juga "mainan" baru! Lagipula, aku yakin, ada visi tersembunyi yang beliau miliki di balik itu semua. Hanya saja belum semua romo mampu memahaminya dan menerimanya. Sekarang ini mungkin kenyataannya sudah lain... Dan lihat! <em>Homepage </em>beliau di multiply.com ramai pengunjung! Dan ternyata... banyak romo baik dalam maupun luar negeri yang mempunyai akun juga di sana! Dan lihat juga! Romo Puja mempunyai <a href="http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/32/INTERNET_OF_PRAYERS_-_JEJARING_SEMBAHYANG_DAN_DOA">"Internet of Prayers - Jejaring dan Doa"</a> dalam salah satu <em>entry </em>blognya dengan bermacam-macam terjemahan bahasa, yang kemudian berkembang menjadi situ sendiri di <a href="http://www.jaringandoa.com/">JejaringDoa.Com</a>! Ibarat gayung bersambut, riak kecil itu telah menjadi gelombang yang menyebar ke mana-mana. Aku melihat karya Allah yang semakin terdukung sampai ke celah-celah dunia ini, bahkan sampai ke sisi dunia maya sekalipun! <em>Deo Gratias!</em><br />
<em></em><br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Ada satu lagi yang mengesan bagiku.</span></strong> Di antara <em>friends </em>Rm. Puja di multiply, ada satu orang yang aku invite, namanya <a href="http://malga.multiply.com/">Malga</a>. Mungkin dia meragukan aku sehingga menulis komentar begini:<br />
<br />
<em>"Hello and God bless you. Thanks for adding me to your contacts. I wonder if you are a catholic just like Johanes is. Is so I would love to invite you to Catholic Friends (of course only if you are one). May Good God always bless you very richly, Ag Sukandar!!!!!"</em><br />
<em></em><br />
Bukannya aku duluan yang menanggapi komentar itu, tetapi justru Romo Puja yang melakukannya!<br />
<em>"Malga, Ag is my friend! I know him well. Thank you for the friendship. God bless you all!"</em><br />
<em></em><br />
Baru kemudian aku menyusul:<br />
<em>"Thanks, Malga. Sure, I will join to that group. Johanes is right. He is my best friend ever! God bless you and family!"</em><br />
<br />
Dalam hati, ".... malu aku!" Kedekatan itu masih aku rasakan...<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Pemilik akun di multiply.com itu</span></strong> hari ini ditahbiskan menjadi Uskup Bandung! Semenjak berita pengangkatannya diumumkan, termasuk melalui multiply, semakin banyak pengunjung situs beliau. Dan masih saja beliau menyempatkan waktu untuk <em>online </em>dan menanggapi komentar-komentar yang masuk. Update blognya juga masih rutin (hehehe... tidak seperti akunku di sana yang hanya <em>copy-paste</em> dari blogku yang lain). Semoga berkah Allah melalui beliau semakin melimpah kepada siapapun, termasuk melalui dunia internet ini!<br />
<br />
<strong><span style="color: #ff9900;">Proficiat, Romo Puja!</span> </strong>Semoga selalu gembira dan sehat melayani domba-domba di tempat penggembalaan yang baru. Aku turut gembira dan bersyukur atas pentahbisan Romo menjadi Uskup Bandung. Terima kasih atas pendampingan, serta persaudaraan imami yang Romo wujudkan selama ini. Semoga semakin banyak orang memuji dan bersyukur kepada Allah bersama Monsignore! Amin!<br />
<br />
<em><span style="color: #ff9900;">Sapaan sore itu selalu terngiang jelas di telingaku....</span></em> <strong><span style="color: #3366ff;">[skd]</span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-48988952601728387332008-07-10T23:41:00.001-07:002008-07-10T23:48:48.685-07:00Angelic-Cloud<div style="FLOAT: right; MARGIN-BOTTOM: 10px; MARGIN-LEFT: 10px"><a title="photo sharing" href="http://www.flickr.com/photos/bornjavanese/2634893143/"><strong><span style="color:#ff9900;"><img style="BORDER-RIGHT: #000000 2px solid; BORDER-TOP: #000000 2px solid; BORDER-LEFT: #000000 2px solid; BORDER-BOTTOM: #000000 2px solid" alt="" src="http://farm4.static.flickr.com/3084/2634893143_8877413a76_m.jpg" /></span></strong></a><strong><span style="color:#ff9900;"><br /></span></strong><span style="MARGIN-TOP: 0px"><a href="http://www.flickr.com/photos/bornjavanese/2634893143/"><strong><span style="font-size:85%;color:#ff9900;"><em>Angelic-Cloud</em></span></strong></a><strong><span style="font-size:85%;color:#ff9900;"><em><br />Originally uploaded by </em></span></strong><a href="http://www.flickr.com/people/bornjavanese/"><strong><span style="font-size:85%;color:#ff9900;"><em>BornJavanese</em></span></strong></a></span></div><strong><span style="color:#ff9900;">Suatu malam</span></strong> aku pernah mengatakan kepada istriku kalau aku rindu memandang langit malam yang bertaburan bintang-bintang, bersih tanpa awan. Istriku cuma tersenyum...<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Aku bahkan</span></strong> juga pernah menyampaikan kepada adikku nun dulu suatu malam, kalau dia merasa rindu padaku aku minta dia untuk memandang langit yang berbintang atau berbulan. Aku tidak tahu apakah dia masih ingat pesanku itu.<br /><br />Dan aku pun pernah menulis puisi tentang itu:<br /><br /><blockquote><strong><span style="color:#ff9900;">Bila Kau Rindu</span><br /><br /></strong><i>dinda...<br />aku ingin sedikit romantis<br /><br />bila kau rindu padaku<br />pandanglah bintang di langit<br />di sana tertera namaku<br />dan aku hadir di sana<br />bertaburan cahaya<br /><br />bila kau rindu padaku<br />pandanglah bintang di langit<br />dan nyanyikanlah lagumu<br />aku kan dengar di sana<br />menyelaraskan nada<br /><br />nadamu sampai ke bintang<br />bergetar kekal abadi<br />kau 'kan berteman cahaya<br />cahaya kasih abadi<br /><br /><strong>Mlati, 30 Maret 2002<br />menjelang malam bertaburan cahaya</strong></i></blockquote>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-58419337730820308462008-06-09T02:02:00.000-07:002008-06-09T02:41:58.339-07:00Was-was...<strong><span style="color:#ff9900;">Ketika menyadari</span></strong> bahwa matapencaharianku selama ini berada dalam situasi genting-ting, aku hanya bisa terdiam. Ada perasaan was-was, itu jelas. Betapa tidak, karena pendapatanku masih bergantung pada tempat di mana aku bekerja saat ini, sementara belum ada titik terang untuk alternatif yang lain. Belum lagi ditambah dengan persoalan publik yang masih menggelayut: harga BBM naik diikuti oleh kenaikan harga-harga lainnya. "Memang berat hidup ini!" begitu seorang teman bilang.<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Hampir setiap malam</span></strong> sebelum tidur, aku selalu termenung di depan rumah sambil memandangi langit. Sesekali memandangi tanam-tanaman dalam pot peliharaanku. Dalam hati aku membuka lebar-lebar terhadap "inspirasi" akan kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa aku tempuh. Barangkali malam ini alam berbisik padaku. Tak jarang aku hanya bisa mendapatkan hirupan udara malam yang kadang terasa segar, namun kadang terasa gerah dibarengi dengingan nyamuk-nyamuk yang membikin pikiran semakin jadi kalut. Masuk ke dalam dunia gelap penuh <em>self-blaming </em>dan keluhan adalah godaan paling menggiurkan. Jika sudah ada iming-iming untuk memasuki dunia seperti itu, biasanya aku terus menyetopnya dan terus masuk ke dalam rumah meski dengan pikiran masih menggantung karena ubun-ubun ini masih terasa panas. Hanya doa penyerahan standard yang kemudian terucap dalam hati sebelum kemudian aku tertidur...<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Perasaan was-was</span></strong> akan kehidupanku sebetulnya adalah tantangan iman. Itu yang aku tahu dan yakini, karena beriman mestilah tidak menyertakan perasaan takut, khawatir atau was-was. Memang bisa jadi aneh, karena menanggalkan perasaan itu akan seperti diri ini seolah berhenti - mati rasa. Padahal beriman tentu bukan kondisi mati rasa! Okelah, bagaimana bila perasaan was-was itu dirumuskan secara lain: kurangnya "ambisi" atau "gairah" untuk mewujudkan sebuah impian akan hidup yang lebih baik, kurangnya "optimisme" yang memacu langkah-langkah yang perlu diambil untuk sebuah <em>achievement.</em><br /><em></em><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Mmmm...</span></strong> mungkinkah aku ini orang yang kurang berambisi, kurang bergairah untuk meraih sesuatu? <em>Let me do something instead of writing words on here! </em><strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-61650458202875866842008-05-27T20:46:00.000-07:002008-05-27T21:57:30.188-07:00Sok sibuk! Ngleblog melulu!<blockquote><strong><span style="color:#ff9900;">Lebih dari sebulan</span></strong> aku tidak posting di blog ini! Pfff... terlalu nguprek di blog-blog yang lainnya <em>sih!</em></blockquote><br /><strong><span style="color:#ff9900;"><a href="http://bornjavanese.blogspot.com/">Blog Jawaku</span></strong></a><strong><span style="color:#ff9900;"> paling rame dikunjungi orang.</span></strong> Soalnya di sana ada MP3 wayang kulit yang bisa didonwload. Aku bikin MP3 itu sewaktu masih aktif jadi pastur. Hiburan paling <em>nyamleng</em> di malam hari menjelang tidur, bahkan di siang hari pun, ya ituuu...wayang-wayangnya Ki Hadi Sugito almarhum. Kalau <em>nggak </em>ya campursarinya Mas Manthous. Tentu saja aku juga demen musik klasik, Taize dan musik-musik rohani. Tapi wayang dan gendhing-gendhing Jawa adalah favoritku. Sampai-sampai karena kegemaranku yang umumnya disukai oleh priyayi-priyayi <em>sepuh </em>dulu aku <em>diparabi</em> "Eyang" atau "Simbah"! Blog <a href="http://bornjavanese.blogspot.com/">Born Javanese</a> itu memang aku bikin karena kecintaanku pada budaya Jawa. Lumayan, bisa menjadi sarana untuk berbagi dan berelasi dengan <em>umat Dalem</em>, meski jelas tidak seperti dulu lagi.<br /><p><strong><span style="color:#ff9900;"><a href="http://natural-wisdom.blogspot.com/">Natural Wisdom</a> adalah blog-ku yang lain.</span></strong> Aku berusaha untuk menulis dalam bahasa Inggris di blog tentang "kebijaksanaan alam" ini. Inilah blog pertama yang aku buat. Pendidikan rohani di Tahun Rohani Jangli Semarang telah menabur benih yang patut aku pelihara dan lestarikan. Benih itu berupa kebiasaan untuk menarik makna rohani dari hal-hal sehari-hari. Allah yang bersabda dan berkarya sungguh nyata! Alam pun menyampaikan pesan itu, dalam keheningan.</p><p><strong><span style="color:#ff9900;">Sebetulnya ada lagi</span></strong> blog lain yang semula aku maksudkan untuk menyampaikan getar iman dalam situasi hidup yang serba sulit ini. Judulnya pun begitu <em>pe-de</em> dan bombastis: <a href="http://kandar4thegoodnews.wordpress.com/">Kandar for The Good News</a>! Sampai-sampai aku malah merasa minder dengan judul itu. Yaaaah... semula <em>sih </em>dengan semangat berkobar-kobar penuh kepercayaan diri aku ingin menyampaikan pesan-pesan gembira dari peristiwa hidup sehari-hari. Menyikapi hidup dengan sederhana, <em>positif thinking, </em>dan <em>mindset</em> senyum ceria adalah sebuah cara yang ingin aku bagikan. Pada kenyataannya, situasi hidup dalam kebersamaan di tengah masyarakat sudah terlalu banyak diderasi oleh berita-berita yang mengkhawatirkan! Memang tidak mudah untuk menggeliatkan jiwa optimistis dan kegembiraan di tengah belantara hidup seperti itu. Untuk tetap hidup dalam iman - yang mestinya ditandakan dengan optimisme dan kegembiraan - memanglah sebuah perjuangan yang tiada henti.</p><p><strong><span style="color:#ff9900;">Sudah sebulan ini</span></strong> aku juga mengelola blog baru lagi yang lebih gaul. Namanya <a href="http://leoxa.com/sukasih">Sukasih</a>. Kisah-kisah seputar keluargaku semenjak aku mempunyai istri aku tuangkan di <em>family blog</em> ini. Meski hidup berkeluarga tidak serba mulus, namun yang aku sampaikan di blog ini selalu dalam nada cair, <em>ngelucu</em> dan <em>ngehumor</em>.</p><p><strong><span style="color:#ff9900;">Hobby fotografi dan desain grafis</span></strong> juga telah menggodaku untuk membuat blog baru lagi. Jadilah <a href="http://wallpaper-4you.blogspot.com/">Wallpaper 4U</a>. Meskipun sudah terlalu banyak situs-situs yang menawarkan wallpaper yang bisa didownload secara gratis, aku tetep nekad. Ada gumpalan bahan di dalam hati ini untuk diurai dan dikemas secara indah dalam sapuan kursor mouse di layar monitor. Kekayaan budaya manusia Indonesia, pesan-pesan iman dan motivational musti bisa dikemas secara indah. Aku punya <em>imagery</em> yang kini sedang mengalir membentuk <em>images. </em>Wallpaper adalah media untuk itu.</p><p><strong><span style="color:#ff9900;">Blablabla...</span></strong> Kalau mau dihitung masih banyak lagi yang seolah-olah menunjukkan aku ini seorang sibuk-<em>man </em>hingga jarang duduk berdoa di sini. Sudah berapa Hari Raya terlewat begitu saja tanpa ada endapan di tempat ini! Bulan Mei adalah bulan pujabakti kepada Bunda Maria... juga tak ada gemaku di sini tentang Sang Ibu. Bahkan sebuah berita gembira pun tak sempat tertoreh di sini sebelum ini: Sabtu, 17 Mei 2008, mantan rektorku di Jangli dulu, <a href="http://pujasumarta.multiply.com/">Rm. JM. Pujasumarta, Pr </a>telah diangkat oleh Takhta Suci menjadi Uskup Bandung, 17 Mei 2008. Belum ada ucapan selamat aku sampaikan kepada beliau, baik melalui situsnya maupun melalui SMS atau telepon! Ter...la...lu!</p><p><strong><span style="color:#ff9900;">Stop!</span></strong> Hatiku malah jadi lebih ngelantur... Aku mau meluncur ke situsnya Sang Uskup baru di Multiply sana sehabis tulisan ini sukses terposting! <strong><span style="color:#3366ff;">[skd]</span></strong></p>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-73245530390672126432008-04-14T00:37:00.001-07:002008-04-14T00:37:22.912-07:00Ngurus kepindahan ke Jakarta<DIV><FONT face=Georgia><STRONG>Masa berlaku SIM-ku</STRONG> (Surat Ijin Mengemudi) sudah akan habis akhir bulan April 2008 ini. Padahal itu SIM dulu aku buat di Sleman dengan KTP Sleman. Karena menikah, aku harus pindah ke rumah orang tua di Kulonprogo. Sekalian, waktu liburan Paskah kemarin aku mengurus surat pindah ke Jakarta, supaya nanti bisa bikin SIM di metropolitan ini. Dan kini keberadaanku di Jakarta hanya berbekal selembar surat pindah itu.</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia></FONT> </DIV> <DIV><FONT face=Georgia>"Bodho...ngapain tidak <EM>nembak</EM> saja?!" salah seorang temanku berceloteh.</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia>"Ah, aku kan pengen jadi warga negara yang baik..."</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia>"Enakan <EM>nembak, </EM>gak repot. Paling cuma habis 300-an, sudah dapet KK ama KTP!"</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia>"Telungatus ewu ki akeh, Dab!"</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia>"Lha daripada wira-wiri!"</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia>"Ga papa... aku kepengen ngerti birokrasi di Jakarta. Ntar kalau ada celah-celahnya, apalagi kalau ada upaya dipersulit, mau aku cathet dan aku tulis di blog."</FONT></DIV> <DIV><FONT face=Georgia></FONT> </DIV> <DIV><FONT face=Georgia><STRONG>Begitulah,</STRONG> kini aku sedang memproses surat-suratnya. Sementara ini tidak ada kesulitan berarti kok. Kocekku baru berkurang Rp 5.000,- untuk nyumbang RW dan Rp 2.000,- untuk sumbangan sukarela di kantor kelurahan. Selebihnya, baru ongkos bensin yang tidak banyak, wong jarak ke kelurahan dan ke kecamatan tidak terlalu jauh. Cuma hari Jumat kemarin, waktu aku sampai di kecamatan, ada berkas yang masih kurang, yakni fotokopi KK pemilik rumah kontrakanku. Okelah, Senin ini aku sudah dapet fotokopiannya, tinggal diserahkan ke kecamatan. <STRONG><FONT color=#ff0000>***</FONT></STRONG></FONT></DIV>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-40556247736110341922008-04-01T22:37:00.000-07:002008-04-02T01:27:25.289-07:00Oke deh, ikutan CIBFest 2008!<a href="http://jawaban.com/news/cibfest"><img style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; CURSOR: hand" alt="CIBFest 2008 Banner A" src="http://www.jawaban.com/news//userfile/CIBfest-A.gif" border="0" /></a><strong><span style="color:#ff9900;">Semula,</span></strong> setelah mendaftarkan dua <a href="http://kandar4thegoodnews.wordpress.com/">blog</a>-<a href="http://natural-wisdom.blogspot.com/">ku</a> yang lain, aku ragu untuk mengikutkan blog-ku yang satu ini ke dalam sebuah festival blog seperti CIBFest 2008. <em>"</em><a href="http://jawaban.com/news/cibfest"><em>CIBFest 2008</em></a><em> adalah festival online gathering yang diadakan untuk pertama kalinya bagi kalangan blogger Kristiani Indonesia,"</em> begitulah dikatakan di situs itu. Aku ragu, karena ada macam-macam perasaan berkecamuk dalam kepala ini bila identitasku yang tergolong unik ini harus diperlihatkan secara lebih terang-terangan, seperti mengiklankan diri. Ada perasaan minder, rendah diri, malu, takut, tak berarti, seperti mau telanjang di depan umum. Namun, justru karena perasaan-perasaan itu aku malah nekad mengikutkannya! Begini aku menuliskan deskripsi tentang blog ini di CIBFest itu:<br /><br /><br /><i><blockquote>"Menjadi seorang mantan imam kadang membuatku minder. Namun, mengapa harus tenggelam ke dalam masa lalu? Masih banyak yang bisa dilakukan untuk karya Allah yang lebih besar. Blog ini menjadi semacam tempat untuk mengendapkan pengalaman-pengalaman berharga supaya hati tetap bergembira dan bersyukur di dalam iman."</blockquote></i><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Hehehe...</span></strong> anggap saja ini bagian dari askese. Tak maulah aku bertele-tele dengan rasionalisasi yang tak berguna (kalau berguna sih...wong nyatanya dengan rasionalisasi kadang hati ini terbantu untuk menjadi lebih positif!):<br /><br /><blockquote><p>Dalam perjalanan pulang ke rumah aku masih belum nyaman dengan pengikutsertaan blog ini ke CIBFest 2008. Status mantan pastor kan cukup mengundang perhatian (kalau ketahuan...hehehe...). Jadinya kan bisa lebih terkenal... ekspos...ekspos...</p><p><span style="color:#ffcc00;">Padahal, siapakah aku ini, ha?! Bukankan lebih baik bersembunyi?! Bukankah lebih baik menutup pintu rapat-rapat daripada sengaja bugil di depan publik?! Apa yang ingin disampaikan di blog ini?! Apakah ada yang "bisa dipercaya" lagi?! Mau koar-koar soal iman, komitmen, kesetiaan, kasih, pewartaan, Yesus, Kerajaan Allah?! Baaahhhh!!! Ngaca lu, ngacaaa...!!!</span></p></blockquote><br />Semakin merasa tak berarti <em>deh </em>jadinya.<br />Tapi... mosok sih separah itu diri ini?<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Ada sesuatu</span></strong> yang mendorongku untuk berparadoks: Jangan-jangan, semakin aku merasa diri tak berarti, Allah Mahakasih justru semakin memandangku semakin berarti! Uuups...!<br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Oke <em>deh!</em></span></strong><br />Entah terserah nanti apa yang akan terjadi, terjadilah. <em>Fiat voluntas Tua! </em>Moga-moga saja apa yang aku lakukan semata-mata <em>ad maiorem Dei gloriam, </em>bukannya <em>mei gloriam!</em><br /><br /><strong><span style="color:#ff9900;">Lihat,</span></strong> <a href="http://jawaban.com/news/cibfest/detail.php?c=182">di sana </a>sudah ada <a href="http://catatanpastoral.blogspot.com/">Rm. Luluk</a>, <a href="http://www.nancydinar.com/">Mbak Nancy Dinar</a>, <a href="http://edymartin.wordpress.com/">Martin</a>, <a href="http://manusia.wordpress.com/">Mas Sigid</a>, dan tentu saja para aktivis gereja yang ternyata hebat-hebat. Luar biasa! Blog ini toh akhirnya tenggelam di antara deretan blog-blog organisasi kegerejaan, blog personal, blog rocketers, blog favorit yang sip-sip itu. Jadi agak tersamar laaah...<br /><br />Setelah beberapa bulan tidak nge-post ke sini, gara-gara ikutan festival itu jadi termotivasi untuk corat-coret lagi. <strong><span style="color:#ff0000;">*** </span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-77684849794039875522008-01-16T21:44:00.000-08:002008-01-16T22:11:56.717-08:00"Anjing di bawah meja tuannya"<img style="FLOAT: left; MARGIN: 10px; CURSOR: hand" height="194" alt="MyWedding" src="http://i234.photobucket.com/albums/ee172/sukandar_ag/MyWedding/MyWedding_oval-1.gif" width="180" /></img><strong><span style="color:#ffcc33;">Minggu Kliwon, 9 Desember 2007</span></strong> adalah hari bersejarah bagiku. Itulah hari saat aku mengucapkan janji perkawinan di hadapan publik secara resmi. Aku menikah dengan Leobarda Dini Purwanti secara sipil, tidak secara sakramental.<br /><br /><span style="color:#ffcc33;"><strong>Bagi kebanyakan orang</strong></span>, hari perkawinan adalah hari bahagia. Ucapan "Selamat menempuh hidup baru semoga berbahagia" juga kami terima dari kerabat dan orang-orang yang menyaksikan perkawinan kami di hari itu dan hari-hari berikutnya. Ada yang secara langsung, ada pula yang melalui telepon maupun SMS. Namun, ucapan itu terasa aneh! Karena perasaanku hari itu memang tidak karuan. Bagaimana tidak, perkawinanku ini lain dari yang lain!<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Untuk peristiwa perkawinan seperti diriku dan Dini ini</span></strong>, jumlah orang yang hadir di aula gereja Kiduloji termasuk istimewa. Ada sekitar 200-an orang. Kerabat dan keluarga dekat, teman-teman, kenalan dan bekas anak dampingan hadir menjadi saksi. Malah ada sahabatku seorang muslim rekan seperusahaan yang mengirimkan juru shooting video. Kehadiran mereka aku terima sebagai dukungan yang sangat bernilai. Dan memang, upacara perkawinanku di luar gedung ibadat itu menjadi terkesan sedikit meriah.<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Namun aku tahu,</span></strong> di dalam lubuk hati mereka yang mengenal kami berdua tersemat kesedihan dan menyayangkan peristiwa itu. Beberapa kerabat dekatku ada yang tidak kuasa menahan tangis. Beberapa ada juga yang tidak mampu menutupi perasaan benci atas perkawinan itu. Bahkan ada juga yang mengirimkan pesan singkat mengutarakan hatinya yang <em>"kelara-lara".</em><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Aku sendiri ingin</span></strong> merasakan kebahagiaan sebuah hari perkawinan. Mulai malam midodareni dan hari-hari sebelumnya aku berusaha untuk berwajah gembira supaya hatiku turut tersetting demikian. Selama upacara pemberkatan janji perkawinan dan pesta kecil di rumah istriku pun aku membiarkan diri tersenyum dan tertawa, sampai pipi terasa kram. Namun aku mengakui, ada kepedihan tertoreh di hati demi menyadari itu semua. Dan belakangan aku harus mengakui juga bahwa kehadiran orang sebanyak itu lebih memberi dukungan kepada kedua orang tuaku yang tak bisa lagi aku membayangkan perasaan mereka.<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Aku kesulitan menggambarkan</span></strong> suasana hatiku di hari itu. Campur aduk tak terkatakan. Gembira dan pedih menjadi satu. Namun untuk sebuah awal perjalanan babak hidup baru, hari itu memberi kesan lebih mendalam: sebab, tidak boleh ada ungkapan syukur atas perkawinanku!<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Minggu Kliwon sore di hari yang sama,</span></strong> keluargaku mengadakan misa syukur keluarga dan mengundang umat wilayah untuk hadir. Keluarga istriku juga diundang. Semula ada tiga hal yang ingin disyukuri sebagai ujub:<br />1. Adikku nomor tiga hamil 7 bulan setelah 5 tahun menikah.<br />2. Adikku nomor dua baru saja melahirkan anaknya yang kedua, perempuan.<br />3. Aku sendiri anak nomor satu baru saja menikah.<br /><br /><span style="color:#ffcc33;"><strong>Tetapi menjelang perayaan Ekaristi dimulai,</strong></span> romo tidak memperkenankan ujub ketiga itu! Aku tidak sempat diberi tahu dan tidak sempat diajak bicara tentang pembatalan itu. Aku bersama keluarga istriku tiba terlambat, persis saat misa akan dimulai. Sepanjang misa itu tidak ada doa atau homili sepatah katapun yang menyebut perkawinanku di pagi hari yang sama. Bahkan, homili romo yang disertai lelucon dan gelak tawa umat terasa seperti pedang tajam yang menusuk hatiku. Tengkukku sampai kaku dan nafasku sesak. Selama misa itu perasaanku sama sekali tidak nyaman. Aku seperti orang asing di rumahku sendiri!<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Dan benar,</span></strong> ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Sehabis Doa Syukur Agung aku diminta untuk keluar dan diajak ke dapur. Di sana sudah menunggu Bapak, Pakdhe dan beberapa orang dekat lain. Oleh mereka aku diminta untuk mencegah keluarga istriku yang ingin pulang selagi misa belum selesai! Ya Tuhan! ternyata pembatalan ujub ketiga dan homili tadi itu juga dirasa sangat menyakitkan hati rombongan, yang nota bene tidak semuanya Katolik! Ada <em>feeling of being humiliated</em>.<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Syukurlah,</span></strong> aku berhasil membujuk mereka untuk tetap tinggal sampai seluruh acara selesai, termasuk acara sambutan atas kehadiran rombongan yang semula sekalian ingin menyerahkan istriku ke tengah keluarga besarku.<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Begitulah,</span></strong> suasana syukuran keluargaku menjadi tidak mengenakkan. Aku bertanya, "Apa yang salah dari semuanya ini?!" sementara orang lain bertanya, "Siapa yang salah?!" Dan kambing hitam pun harus ada! Siapa lagi kalau bukan pihak yang membatalkan ujub ketiga itu!<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Demi buntut peristiwa yang seperti itu</span></strong>, aku menangis, benar-benar menangis! Jika dicari siapa yang salah, ya aku-lah biangnya! Siapa lagi?! Dan lagi, salah satu pertimbangan hingga aku memutuskan untuk mundur dari imamat adalah supaya kolegialitas imam-imam tidak turut tercemar oleh dampak "kenakalanku". Namun kini yang terjadi justru apa yang ingin aku hindari: salah satu sahabatku menjadi kambing hitam dan memperoleh umpatan yang sangat kasar.<br /><br /><span style="color:#ffcc33;"><strong>Sekali lagi aku menangis karenanya.</strong></span> Seandainya ujub ketiga itu diganti menjadi ujub doa untuk yang berdosa ini - bukan ujub syukur - sebetulnya itu saja sudah memberi kesejukan. Orang berdosa ini berharap untuk masih bisa diterima di ruang ibadat, meskipun harus duduk di sudut pojok belakang.<br /><br /><span style="color:#ffcc33;"><strong>Memang selayaknya aku menerima hukuman</strong></span>, dan aku telah menerimanya dengan cara seperti itu. Dengan perkawinanku aku mengambil resiko untuk menanggung konsekuensi gerejawi. Kini aku dan istriku tidak diperkenankan menyambut komuni dan sakramen-sakramen lainnya. Kami berdua sekarang ini masuk ke dalam ruang ibadat dengan kerinduan menyambut Tubuh dan Darah Kristus. Harapan dan kerinduan itulah yang kami rasa kini menjadi penggerak untuk hadir di sudut rumah Allah seraya memandang meja. Seperti apakah sekarang kami ini?<br /><br /><blockquote><span style="color:#ffcc33;">Pada suatu ketika, seorang ibu yang anak perempuannya kerasukan setan datang mendekat dan menyembah Yesus sambil berkata, "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab, "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Kata perempuan itu, "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya, "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh.</span> - <em><strong>Mat 15:12-28; Mrk 7:24-30.</strong></em></blockquote><br /><p>Permohonan, kata-kata, dan iman perempuan itu memberi inspirasi kepada kami berdua untuk menghayati iman dalam pengharapan dan kerinduan akan pertolongan kasih Allah, meski saat ini kami hanya boleh menerima remah-remah dari meja perjamuan.<br /><br /><em><span style="color:#ff9900;">"Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya. Tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh."</span></em> <span style="color:#ff0000;"><strong>***</strong></span></p>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-48445717892376693252008-01-08T19:42:00.000-08:002008-01-08T20:06:02.440-08:00Preparing my new era of life<div align="left"><span style="color:#ffcc33;"><strong>August 15th, 2007 was the day of the 2nd anniversary</strong></span> of my resignation as a Catholic priest. I have been living a way of laity people for two years, going on three. De iure I am still a priest as I just got "suspended" by the Catholic Law. I don't reach 40 years old yet. The Process of laitification will be begun properly at 40. So far no restriction put on me to receive communion and other Holy Sacraments. I thank God for this.<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">However, the day will come.</span></strong> Recently I am preparing my marriage. I will marry a woman I love on December 9th, 2007. It's so close. Oh, My! My clerical status obviously restricts me to have a wife as I vowed celibacy since my ordination of diacon on January 25th, 2000. So it will be a law-breaking. However I have made a decision after a long journey and deep considerations under many guidances of my spiritual fathers. O, Lord... have mercy on us!<br /><br />I have submitted all the requirements to gain the civil rights after the marriage. What is bothering me for now is that I will put on a new "status", a new stage of my life. I will be a husband, and if God trusts me, I will be a father of my children. I shall provide the living of my family and have responsibilities on everything in it. And for all of them I just go with my love, a love that I believe it's just from God himself. It's the same love by which I was brave enough to be ordained as a priest on July 12th, 2000 ago. Actually I feel the differences, and a question occures in my mind: "Still having an obsession of the universal love, I should be attached with my wife and children. How should I love?"<br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">For about 17 years of formation</span></strong>, I had been set up to live in celibacy. I realize that it isn't just like reversing a palm of hand to switch my railway track of my life. Instead of hidding the God's love, I just struggle to keep staying in his hand and loving him in this new stage of my life, in the limitations of my being. I just believe in his love, and without him I'm just nothing!<br /><br />When I was ordained as a priest I quoted <strong><span style="color:#ffcc33;">John 15,5c</span></strong> as my personal motto: <em><strong><span style="color:#ffcc33;">"without me you can do nothing"</span></strong></em>. It still applies on me to begin this new era. Oh my Lord Jesus Christ, have mercy on us sinners, and strenghten our faith, hope and love. <strong><span style="color:#ff0000;">***</span></strong><br /><em><strong></strong></em></div><div align="right"><em><strong>November 2007</strong></em></div>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-25801430115205797692007-12-26T19:09:00.000-08:002007-12-26T19:32:29.302-08:00Bisa jadi saya ini SOMBONG!<em><blockquote><span style="color:#ffcc33;"><em>Aku menghadap yang mulia</em><br /><em>dengan kaki satu terangkat.</em><br /><em>Aku berkisah tentang sejarah</em><br /><em>sejarah sisa-sisa di lubuk hati.</em><br /><em></em><br /><em>"Maaf...</em><br /><em>kisahmu penuh kesombongan!" ujar yang mulia.</em><br /><em>Tiba-tiba kisahku terhapus!</em><br /><em>Aku tak tahu</em><br /><em>apakah masih ada sisa-sisa.</em><br /><em>Mulutku terkatup.</em><br /><em></em><br /><em>"Maukah kamu melepaskan hatimu?</em><br /><em>Ataukah tidak?" imbuhnya.</em><br /><em>Yang mulia tak sabar rupanya</em><br /><em>ingin mendengarkan kisah baru yang lain.</em><br /><em></em><br /><em>Tiba-tiba leherku tercekik!</em><br /><em>Tanpa suara...</em><br /><em>Kakiku yang lain terangkat</em><br /><em>dan aku melayang tanpa langkah</em><br /><em>tertiup angin...</em><br /></span></blockquote></em><br /><div align="right"><strong>Senin, 08 Agustus 2005</strong></div><br />Bisa jadi saya ini adalah orang yang sombong. Paling tidak begitulah penilaian yang saya terima, baik yang sempat terucapkan maupun hanya dibatin saja oleh rekan dan pimpinan saya waktu itu. Dengan refleksi yang <em>"kejeron" </em>(terlalu dalam) dan <em>"rasionalisasi" </em>yang melelahkan sampai akhirnya mengantarkan saya pada keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatan imamat, memang bisa membuat kesan seperti itu.<br /><br />Dengan lemah lunglai disertai beribu perasaan negatif terhadap diri sendiri saya berusaha bangkit berdiri. "Apakah Allah meninggalkan diriku?" Ah, saya harus mengakui bahwa diri saya terlalu idealis, perfeksionis dan sombong untuk melanjutkan perutusan imamat. Lebih dari itu sebenarnya saya telah kelelahan... Egosentrisme seperti itu memang telah menghabiskan tenaga. Yang tersisa adalah tenaga untuk menjaga syukur di hati ini dan menjaga nafas iman serapuh dan sekuat bulir biji yang mau tumbuh. <strong><span style="color:#ff0000;">***</span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-70336327849910915142007-12-04T18:56:00.001-08:002007-12-04T19:13:48.498-08:00Gloria a Te, Christo Gesu (Jean Paul-Lemot)<div xmlns="http://www.w3.org/1999/xhtml"><object height="80" width="300"><param value="http://media.imeem.com/m/AtOO9GqGKz/aus=false/" name="movie"><param value="transparent" name="wmode"><embed wmode="transparent" type="application/x-shockwave-flash" src="http://media.imeem.com/m/AtOO9GqGKz/aus=false/" height="80" width="300"></embed></object><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Gloria a Te, Christo Gesu</span></span><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">The Hymn of The Great Jubilee</span><span style="font-weight: bold;"> (Jean Paul-Lemot)</span><br /><br />Gloria a te, Cristo Gesu,<br />oggi e sempre tu regnerai!<br />Gloria a te! Presto verrai:<br />sei speranza solo tu!<br />Sia lode a te!<br />Cristo Signore,<br />offri perdono,<br />chiedi giustizia:<br />I'anno di grazia<br />apre le porte.<br />Solo in te<br />pace e unita.<br />Amen! Alleluia!<br /><br />Gloria a te, Cristo Gesu,<br />oggi e sempre tu regnerai!<br />Gloria a te! Presto verrai:<br />sei speranza solo tu!<br />Sia lode a te!<br />Cuore di Dio,<br />Con il tuo Sangue<br />lavi ogni colpa,<br />torna a sperare<br />l'uomo che muore.<br />Solo in te<br />pace e unita.<br />Amen! Alleluia!<br /><br />Gloria a te, Cristo Gesu,<br />oggi e sempre tu regnerai!<br />Gloria a te! Presto verrai:<br />sei speranza solo tu!<br />Sia lode a te!<br />Prega con noi<br />la benedetta<br />Vergine Madre:<br />tu l'esaudisci,<br />tu la coroni.<br />Solo in te<br />pace e unita.<br />Amen! Alleluia!<br /><br />Gloria a te, Cristo Gesu,<br />oggi e sempre tu regnerai!<br />Gloria a te! Presto verrai:<br />sei speranza solo tu!<br />Sia lode a te!<br />Tutta la Chiesa<br />celebra il Padre<br />con la tua voce<br />e nello Spirito<br />canta di gioia.<br />Solo in te<br />pace e unita.<br />Amen! Alleluia!<br /><br />Gloria a te, Cristo Gesu,<br />oggi e sempre tu regnerai!<br />Gloria a te! Presto verrai:<br />sei speranza solo tu!</div>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-68452410473798571992007-11-23T22:26:00.000-08:002007-11-23T22:27:08.606-08:00Christianity - Videos<div id="cubeDiv" style="position:relative;"><span style="position:relative; z-index:2;"><object classid="clsid:d27cdb6e-ae6d-11cf-96b8-444553540000" id="swfclipp12595" width="520" height="590"><param name="allowScriptAccess" value="always" /><param name="movie" value="http://www.thenewsroom.com/mash/swf/cube.swf?a=p12595&m=236443&v=1" /><param name="base" value="."/><param name="wmode" value="transparent"><embed src="http://www.thenewsroom.com/mash/swf/cube.swf?a=p12595&m=236443&v=1"base="." wmode="transparent" width="520" height="590" name="swfclipp12595" allowScriptAccess="always" type="application/x-shockwave-flash" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer"></embed></object></span><span id="voxAdp12595" style="position:absolute;z-index:2;"></span></div>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-40902882616547795672007-11-21T19:32:00.000-08:002007-11-22T02:38:09.560-08:00Guestbook<div style="text-align: center;"><a href="http://www.blingcheese.com/" target="_blank" title="Cool MySpace Graphics at BlingCheese.com"><img src="http://i153.photobucket.com/albums/s235/revmyspace2/graphics/greetings/welcome/00e5d230114c76817edb5e3ec086.jpg" alt="MySpace Graphics" border="0" /></a></div><br /><center><div><embed src="http://widget-45.slide.com/widgets/slidemap.swf" type="application/x-shockwave-flash" quality="high" scale="noscale" salign="l" wmode="transparent" flashvars="cy=bb&il=1&channel=576460752329068869&site=widget-45.slide.com" style="width: 400px; height: 320px;" name="flashticker" align="middle"></embed><div style="width: 400px; text-align: left;"><a href="http://www.slide.com/pivot?cy=bb&ad=0&id=576460752329068869&map=5" target="_blank"><img src="http://widget-45.slide.com/c1/576460752329068869/bb_t000_v000_a000_f00/images/xslide11.gif" ismap="ismap" border="0" /></a> <a href="http://www.slide.com/pivot?cy=bb&ad=0&id=576460752329068869&map=6" target="_blank"><img src="http://widget-45.slide.com/c2/576460752329068869/bb_t000_v000_a000_f00/images/xslide6.gif" ismap="ismap" border="0" /></a></div></div></center><br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Welcome to my blog!</span> Thanks for visiting on here. Would you please to sign my guestbook above? And if you would like to leave a comment, just <a style="font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);" href="http://www.blogger.com/comment.g?blogID=7213353369679602933&postID=4090288261654779567&isPopup=true" target="blank_">CLICK HERE</a>. Thanks in advanced.<br /><br />Best regards,<br />Kandar Ag.Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-54166369532957037622007-11-21T02:39:00.000-08:002007-11-21T02:56:46.030-08:00Jangli? Makna Rohani!<span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Waktu itu petang hari, Sabtu, 02 Maret 2005</span>, saat matahari sudah tenggelam. Lampu-lampu jalan sudah menyala menerangi dua orang muda yang sedang berjalan beriringan sambil memperbincangkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Percakapan mereka begitu hangat, kadang-kadang diselingi tawa, kadang serius dengan topik mendalam. Sebetulnya mereka bisa mengendarai motor berboncengan, tetapi hal itu sengaja tidak dilakukan.<br /><br />“Kita berjalan kaki saja. Aku pengen mengenal sudut-sudut daerah ini,” kata salah satu dari mereka. Dia memang pendatang baru, sementara yang satunya sudah lebih dahulu berada di Jakarta. “Lagipula kita bisa omong-omong. Emaus.... Emaus.... Iya toh?” lanjutnya.<br /><br />“Hehe... jadi ingat masa-masa di Jangli dulu ya?” tanggapan yang satunya bernada menyetujui.<br /><br />“Aku ingin mengawali hidupku di Jakarta ini benar-benar dalam rangka peziarahan, <span style="font-style: italic;">siji sing diarah</span>. Bagaimanapun juga sekarang ini status kita masih imam Keuskupan Agung Semarang....”<br /><br />Selain teman-teman sekantor, tidak ada yang tahu kalau ternyata kedua orang muda di jalan sore itu adalah imam! Karena penyelenggaraan ilahi – begitu mereka memaknainya – mereka menjalani masa <span style="font-style: italic; color: rgb(255, 204, 51);">extra domus</span>, menanggalkan fungsi-fungsi imamat untuk sementara waktu.<br /><br />“Apa pun ujung peziarahan kita di Jakarta ini nantinya, asal kita tidak terlepas dari iman kepada Yesus Kristus junjungan kita, pastilah Dia akan berkenan, dan pastilah itu baik adanya. Pasang mata-telinga-hati-dan pikiran! Semuanya mempunyai makna asal kita memakai kacamata yang benar.”<br /><br />“Untung kita diperkenalkan dengan yang namanya makna rohani ketika di Jangli dulu ya...”<br /><br />“Persis! Itulah kacamatanya!”<br /><br />Tidak terasa dua orang muda yang ternyata imam itu sampai di sebuah toko voucher pulsa handphone, tujuan mereka sore itu. Tidak lama kemudian mereka keluar dari toko itu untuk kembali pulang ke mes. Namun salah satu dari mereka tiba-tiba membungkuk. Matanya tertuju ke sebuah benda di tanah. Warnanya kuning kecoklatan berbalut tanah berpasir. Diambilnya benda itu dan diusapnya. <span style="color: rgb(255, 204, 51); font-weight: bold;">Sebuah salib kecil!</span> Mereka berdua terpana terdiam sejenak.<br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">“Rumaten salib iki!”</span> </span>tanpa komando apa pun tiba-tiba mereka berdua saling berteriak tertahan secara berbarengan. Ada nada haru, sekaligus terasa kobaran api menyala tak terumuskan saat itu.<br /><br />“Kok ya kamu melihatnya?”<br /><span style="font-style: italic;">“Lha mbuh...”</span><br />“Kebetulan?”<br />“Dalam keyakinanku, tidak ada kebetulan dalam kacamata makna rohani.”<br />“Allah berbicara kepada kita, <span style="font-style: italic;">Dab</span> (Mas)!”<br />“Tuhan beserta kita...”<br />“Sekarang dan selama-lamanya...”<br />“Amin!”<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Bergantian mereka menciumi salib kecil itu</span>, dan mereka pulang ke mes dengan suasana hati berkobar-kobar dalam keteduhan salib kecil berbalut debu itu. Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak habis-habisnya memperbincangkan soal salib kecil yang mereka temukan itu. Mereka tidak berebut untuk memiliki logam kuningan itu. Tanda itu sudah cukup untuk membahasakan salib dalam hati mereka masing-masing. Mereka menganalogikan jalan-jalan sore itu sebagai perjalanan dua murid dari Emaus. Dan sejak saat itu <span style="color: rgb(255, 204, 51); font-weight: bold; font-style: italic;">‘Rumaten salib iki!’</span> menjadi refrain mereka berdua di tengah pergulatan hidup di pengasingan di belantara kota Jakarta. Dalam sinar salib kecil yang mereka temukan Sabtu sore itu, Jakarta betul-betul menjadi medan peziarahan rohani, peziarahan rohani dua orang imam muda <span style="font-style: italic;">extra domus</span> yang ingin mempertanggungjawabkan hidup mereka dalam iman yang sungguh-sungguh.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Makna rohani!</span> Itulah Roh Jangli yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh pria-pria muda besutan Wisma Sanjaya. Itulah dua kata yang sangat operasional mulai bangun pagi sampai malam saat pergi tidur, dan akan terasa sayang bila diabaikan. Sekurang-kurangnya si frater akan kerepotan pada Jumat sore bila serentang minggu yang telah lalu dia belum dapat merumuskan insight rohani apa-apa untuk disharingkan sebagai makna rohani pada saat rapat komunitas. Muka merah dan hati berdebar. Ada secuil rasa malu pada teman-teman sekomunitas dan romo rektor. Dan tentu saja malu pada diri sendiri.<br /><br />Bagaimana tidak, biarpun hanya sepenggal kata untuk merumuskannya, didalamnya dipertaruhkan <span style="font-style: italic; color: rgb(255, 204, 51); font-weight: bold;">otentisitas</span> dan <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(255, 204, 51);">simplisitas</span> sebagai pribadi terpanggil di hadapan Allah. <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(255, 204, 51);">Otentik,</span> karena murni dari pengalaman individual yang jujur dan tulus, bukan jiplakan dari pengalaman teman. <span style="color: rgb(255, 204, 51); font-style: italic; font-weight: bold;">Simple,</span> karena iman tumbuh berkembang dari kesederhanaan hati; hanya dalam kesederhanaan itulah kerja offisi rutin membosankan, aktivitas harian dan alam semesta bisa menampakkan kuntum-kuntum atau puncta spiritualis yang sangat berarti. Kebijaksanaan dan kecerdasan iman memperoleh nutrisinya. Sabda Allah dalam Kitab Suci dapat sungguh hidup. Karena muncul dari kesederhanaan, kadang-kadang makna rohani ditemukan dalam pengalaman konyol dan lucu, tak terduga dan tak bisa direkayasa. Untuk merumuskannya pun kadang diperlukan keberanian dan ke-<span style="font-style: italic;">nekad</span>-an. Sepintas terkesan, demi sebuah makna rohani seorang frater mengadakan petualangan rohani dalam seminggu. Namun lebih dari itu, sebetulnya ada sikap hati yang mendamba sapaan Allah di luar media rohani formal seperti puncta, doa rosario, brevier, ibadat, adorasi dan Ekaristi. Avontur rohani itupun menjadi peziarahan iman untuk melihat, mendengarkan dan mengikuti Allah yang bersabda dan berkarya setiap saat, Allah yang menyelenggarakan kasih-Nya tanpa batas. Bagi para frater yang dilanda kehampaan makna rohani, ayat-ayat Kitab Suci telah siap membantu menggarisbawahi pengalamannya... tentu bila dibaca dengan sungguh. <span style="font-style: italic;">“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu”</span> <span style="font-weight: bold;">(Mat 7:7)</span>.<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Memanglah dibutuhkan kecerdasan iman</span> untuk merumuskan makna rohani. Secara serentak proses perumusan itu sendiri mengasah kecerdasan iman para frater. Allah yang mengasihi adalah Misteri. Salah satu bahasa yang pada hemat saya cukup mewakili untuk menangkapnya adalah <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">bahasa analogi</span> antara dua dimensi: <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">dimensi insani</span> dan <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">dimensi ilahi</span>, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, yang wadhag dan yang rohani. Dimensi yang satu menggetarkan yang lain; orang musik bilang: terjadi <span style="color: rgb(255, 204, 51); font-style: italic; font-weight: bold;">resonansi</span>. Orang yang mampu menangkap getar resonansi itu mempunyai kepekaan hati. Afeksi seseorang berkembang karena kepekaannya terhadap tanda-tanda semesta (zaman) di sekelilingnya. Di Jangli, pendampingan hidup beriman sebagai manusia panggilan untuk imamat tidak mengabaikan aspek ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Bagi saya pencarian makna rohani adalah sebuah tradisi</span> yang ditanamkan kuat di Tahun Rohani Jangli, bahkan menjadi cara kerja bagaimana saya menghayati iman. Sebagai sebuah tradisi, <span style="font-style: italic;">habitus</span> merumuskan makna rohani tidak berhenti pada rapat komunitas terakhir di Jangli saja. Habitus itu berlanjut di Seminari Tinggi, semasa menghayati hidup imamat, dan sampai sekarang ini ketika saya sudah meletakkan jabatan imamat itu. Makna rohani-makna rohani yang terhimpun menjadi untaian rahmat Allah yang membimbing dan menguatkan langkah hidup saya. Bahkan, beberapa pengalaman hidup masa lalu baru bisa saya tangkap dan rumuskan maknanya jauh sesudah peristiwa itu berlalu.<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Kentut = kabar gembira!</span><br /><br />Saya lupa persisnya kapan, ketika di Tahun Rohani saya pernah menderita keracunan. Teman-teman menduga saya keracunan ikan tongkol yang dihidangkan di refter. Perut saya sebah (tidak enak), rasanya penuh angin dan kenyang selama tiga hari. Repotnya, saya tidak bisa buang air besar. Bahkan kentut pun tidak bisa! Teman-teman pada tertawa! Hanya ingin kentut saja nggak bisa! Hari ketiga ada teman yang memberi saya susu untuk diminum. Dan pada hari itu juga saya bisa kentut, lega rasanya... teman-temanku ikut tersenyum senang, meski soal kentut itu akhirnya sempat menjadi olok-olokan untuk saya.<br /><br />Tahun 1998 ketika saya tingkat V FTW, saya harus menjalani operasi usus buntu. Lagi-lagi soal kentut menjadi tema! Setiap orang yang membesuk saya selalu bertanya, “Sudah kentut belum?” Begitu pentingnya kentut bagi mereka, pikir saya. Sebab katanya, sehabis operasi bila sampai kemasukan minuman atau makanan sebelum kentut, bisa fatal akibatnya. Saya baru kentut setelah hari kedua sesudah operasi. Baunya minta ampun! Tetapi orang senang mendengarnya. Kakak saya yang menemani saya, tidak peduli dengan bau itu. Kentut saya waktu itu menyenangkan keluarga saya.<br /><br />Kentut dinanti dan dirindu, padahal menjengkelkan bagi beberapa orang!<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Saya sempat terusik oleh ironi ini.</span> Namun, syukur kepada Allah! Saya jadi memahami kentut orang lain, dan lebih dari itu saya memahami salah satu peristiwa iman yang dialami <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Bunda Maria</span> pada awal perutusannya. Saya berdoa semoga cara pemahaman saya tidak keliru. Saya memahami demikian: Ketika Maria menerima “kabar gembira” dari malaikat Gabriel bahwa dia akan mengandung Mesias dari Roh Kudus (<span style="font-style: italic;">bdk.</span> Luk 1:26-38), pada saat itu – ampun ya Bunda – Maria ibarat <span style="color: rgb(255, 204, 51); font-weight: bold;">“dikentuti” oleh Allah!</span> Betapa tidak?! Dia belum bersuami, tetapi harus hamil mengandung bayi Yesus. Kehadiran Mesias dinanti oleh Maria dan seluruh bangsa Israel, kegembiraan seluruh dunia; tetapi hamil di luar nikah adalah kenajisan yang harus dibayar dengan rajam sampai mati. Maria harus menerima itu, dengan iman yang teramat besar dan mendalam....<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);">Belajar dari kentut</span> dan peristiwa Maria Annunciata yang kita rayakan setiap tanggal 25 Maret itu, saya belajar menghayati iman dan hidup dengan cara pandang yang positif. Saya meyakini, sepahit apapun peristiwa dalam hidup ini, di situ Allah juga menyampaikan kegembiraan, Dia menjalankan karya penyelamatan-Nya. Kentut bisa membuat orang bersungut-sungut, tetapi bisa juga membuat orang tersenyum geli tertawa gelak. Saya memilih yang terakhir, dan ini adalah pilihan iman! Peziarahan iman di dunia ini akan sangat melelahkan bila dipenuhi <span style="font-style: italic;">“sungut”</span>, namun akan menggairahkan bila disertai senyum dan muka cerah-ceria.<br /><br />Oleh karena tradisi makna rohani mulai dari Jangli-lah, saya bisa tersenyum bersama Allah dengan kekonyolan-kekonyolan-Nya yang mampu saya tangkap dengan cara seperti itu. Selanjutnya, <span style="font-style: italic;">“biarlah segala makhluk memuji nama-Nya yang kudus untuk seterusnya dan selamanya”</span> <span style="font-weight: bold;">(Mz 145:21).</span><br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);"> Selamat merayakan Pesta Perak untuk Wisma Sanjaya.</span> Aku bersyukur dan bergembira boleh menghirup nafas di tempatmu 15 tahun yang lalu ketika aku diajak mengenali kasih Allah secara mendalam; dan 2 tahun yang lalu ketika aku memantapkan langkahku untuk menapaki jalan baru peziarahan imanku. Semoga siapa pun yang pernah, sedang dan akan melewati hari-hari hari di tempatmu senantiasa disegarkan oleh hembusan Roh Kudus. Terima kasih kepada para romo pembimbingku, Romo Pujasumarta dan Romo Djono, Romo Hartosubono, Romo Priambono, Sr. Antonia, Sr. Francisca, rekan seangkatan, sahabat sekomunitas, dan tak lupa Mami Sikep. Terima kasih kepada umat Allah atas doa dan perhatian yang kami terima. Aku juga berdoa untuk kebahagiaan kekal Romo Kardinal Darmoyuono dan Romo Nata Susila almarhum yang telah mendahului kita menghadap Bapa.<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(255, 204, 51);"> Proficiat!</span> Wisma Sanjaya, aku membanggakanmu! ***<br /><br /><br /><span style="font-style: italic;">Jakarta, 18 Maret 2006</span><br /><span style="font-weight: bold;"></span><br />Pada bulan permenungan Salib Kristus<br />(maaf, bulan permenungan “kentut” Allah juga!)Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-84463732081203695082007-11-19T18:08:00.000-08:002007-11-19T18:48:05.753-08:00Akhirnya aku tiba di Jakarta<em>Berikut catatanku beberapa hari setelah kedatanganku di Jakarta:</em><br /><em>Waktu itu aku diantar oleh <span style="color:#ffcc33;"><strong>Rm. Hartosubono, Pr.</strong>,</span> rektor Tahun Rohani Jangli. Selama setahun aku memang berada di Jangli, di bawah pendampingan beliau, rekan sekomunitas bersama para frater dan <strong><span style="color:#ffcc33;">Rm. Priambono, Pr.</span></strong> Dari Stasiun Tawang Semarang tgl. <strong><span style="color:#ffcc33;">16 Agustus 2004</span></strong> naik kereta bisnis, turun di Jatinegara. Mampir ngopi sebentar dan akhirnya naik taksi ke Kramat VII, untuk sejenak istirahat di Wisma Unio. Di sana disambut <span style="color:#ffcc33;">Rm. Sunu, Pr.</span> yang waktu itu bertugas di Kerawam KWI. Siang hari naik taksi lagi ke Pondok Kelapa Indah B-IV no. 10 Kalimalang, Jakarta Timur. Harus tanya-tanya, karena aku sendiri agak lupa. Akhirnya ketemu. Tentu saja kantor Seruni tutup, hari itu persis 17 Agustus. Akhirnya aku dan Rm. Bono pergi ke rumah <span style="color:#ffcc33;">Bp. Kasyanto</span>, teman seangkatan dan sekampung Rm. Bono.</em><br /><em></em><br /><em>Mulailah hari-hariku di Jakarta.... <strong>18 Agustus 2004</strong></em><strong> </strong><em>adalah hari pertamaku masuk kantor Seruni. Sebagai tempat tinggal aku diperbolehkan menempati mes yang waktu itu sudah ditempati <strong>Bp. Mathias Herman</strong>, adik kelasku di Kentungan dulu, bersama istri dan satu anaknya, serta <strong>Wahyu Sri Kuncoro</strong> yang waktu itu masih sebagai frater probasi (tapi akhirnya memutuskan mundur juga, hehehe...). Selain di mes, sering aku tidur di rumah kakakku, <strong>Jusup Mujiman</strong> di Cimanggis Kelapadua, Depok, 28 kilometer dari kantor. Lajo dari sana. ***</em><br /><em></em><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 30 Agustus 2004<br /></span></strong><br />Akhirnya aku tiba di Jakarta!<br />Jakarta itu belantara!<br />Jakarta itu lautan manusia!<br />Jakarta itu raksasa dengan bau nafas pengap persaingan!<br />Siapa tidak ulet, tak bisa hidup di sini.<br />Jangan terlalu membidik posisi terlalu tinggi deh!<br />Lihat tuh, buanyak pelamar berijazah S-1, S-2,<br />bahkan yang sudah pernah belajar dan bekerja di luar negeri pun menganggur!<br />Lulusan SLTA tidak kalah buanyak. Tetapi rupa-rupanya mereka malah lebih beruntung karena banyak lowongan yang membutuhkah tingkat itu. Dan umumnya, lulusan SLTA yang berani mengadu nasib di Jakarta tentulah mempunyai semangat yang luar biasa. Mereka mau memulai dari pekerjaan dengan posisi bawah sekali.<br /><br />Aku datang ke Jakarta dengan dugaan dan persiapan yang berbeda sekali dengan kenyataan yang akhirnya aku hadapi. Aku mengepak barang-barangku sebanyak 7 kardus Gudang Garam! Sampai di sini, sudah dua minggu aku di Jakarta, masih ada tiga kardus yang calonnya hanya akan berkurang sedikit isinya. Bukan karena apa-apa. Di Jakarta ternyata tidak butuh banyak barang yang terlanjur aku bawa itu. Selain tidak ada tempat, barang-barang itu pasti tak akan pernah tersentuh. Aku hanya butuh: pakaian secukupnya, uang untuk transport, piring dan sendok, gelas gula dan kopi, handuk dan alat mandi, bantal dan alas tidur berikut obat nyamuk. Sudah.<br /><br />Aku berangkat kerja jam 07.30, pulang sekitar jam 19.00. Sampai di rumah sudah kelelahan, hanya pengen segera pergi tidur.<br /><br />Sampai tanggal ini aku belum mendapat gaji. Jadi uangku defisit terus untuk transportasi dan makan. Per hari uang transport 2 ribu rupiah, makan 5,5 ribu rupiah, rokok 5,5 ribu rupiah. Jadi rata-rata per hari aku mengeluarkan uang sebesar 13 ribu rupiah. Dalam sebulan aku akan menghabiskan uang rata-rata 390 ribu rupiah. Gajiku sebulan hanya 750 ribu rupiah. Aku akan hanya mempunyai saldo sebesar 360 ribu rupiah per bulan, itu pun dalam kondisi normal. Saldo setahun berarti 4.320.000 rupiah.<br /><br />Lihatlah! Itu uang jauh lebih kecil dibanding apa yang mungkin aku punyai bila hidup di kota Semarang sebagai imam, tanpa kerja fisik melelahkan.<br /><br />Ya Tuhan…..<br />Pikiran spontan yang muncul dalam hatiku ialah, bagaimana aku mesti berhemat; bagaimana aku mesti mengubah gaya hidupku yang lalu. Beginilah orang hidup, memperjuangkan hidup. Aku ditantang untuk selalu mensyukuri hidup yang aku perjuangkan ini, dari hari ke hari.<br /><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 31 Agustus 2004</span></strong><br /><br />Kemarin sore aku menerima gajiku yang pertama sebesar Rp 350 ribu. Sedikit memang. Tetapi belum pernah aku merasakan uang sebesar itu begitu berharga. Uang itu berbicara banyak sekali kepadaku.<br />Dia bilang, “Hayo berhemat, jangan boros!”<br />“Cukupkanlah dirimu dengan jumlah sebesar ini!”<br />“Bayangkanlah orang lain yang tak memperoleh apa-apa dalam sehari!”<br />“Bersyukurlah!”<br /><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 06 September 2004</span></strong><br /><br />Siapa bisa mengubah Jakarta?<br />Sebuah gedung besar dan luas di tepi jalan sempit dan macet setiap pagi dipasangi spandung: “Dijual” Siapa mau beli bangunan di tempat seperti itu?<br /><br />Pagi macet, siang macet, sore macet… orang-orang berlalu-lalang datang dan pergi dengan tujuan masing-masing di kepala mereka. Satu yang mereka pikirkan: uang. Hari ini aku butuh uang, untuk makan anak istri, untuk bayar kontrakan, untuk pleasure… masing-masing orang mempunyai level cangkir Maslow jiwanya sendiri-sendiri, dan harus dipenuhi kalau bisa hari ini juga! Dari buruh bangunan jembatan layang maupun gedung bertingkat, bakul sayur dan roti yang berteriak-teriak setiap pagi, sopir angkot dan bajaj… sampai pengunjung mall dan supermarket yang kelebihan uang, atau pegawai bank dan asuransi yang bersih berdasi… semuanya berkata, “Hari ini aku butuh uang!”<br /><br />Ada yang mampu mengukur kapan dirinya bisa beryukur. Tetapi ada yang tak pernah mampu meski kelimpahan sudah berada di tangan dan saku bajunya. Ada yang mampu memaknai setiap langkah dan perhentian di sepanjang ruas jalan-jalan Jakarta ini. Ada yang tak menampakkan sama sekali denyut Roh yang sedang mereka ikuti iramanya.<br /><br />Aku hampir tak bisa melihat hal yang berbeda dari orang-orang dalam perjalanan sepanjang jalan itu. Jakarta adalah “jalanan”, absurditas nilai, bahkan “nothingness”, sebentar datang dan bersua, tak lama kemudian pergi seperti angin.<br /><br />Lihatlah file-file pelamar kerja yang ribuan jumlahnya tertumpuk di setiap kantor agen atau outsourcing tenaga kerja, baik agen yang legal maupun ilegal, yang bertanggung jawab maupun tidak. Apalah artinya sebuah nama dalam tumpukan itu! Bisa-bisa… <em>none… nothing!<br /></em><br />Siapa mau mengubah Jakarta?<br />Apanya yang mau diubah?<br /><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 15 September 2004</span></strong><br /><br />Kemarin ada seorang pelamar yang diterima di PT. Mulia Glass Float sebagai Front Officer. Sebelumnya dia aku rekomendasikan untuk wawancara di PT. Dipo Star Finance, tapi tidak diterima. Waduuuh … rasanya seneng dan bahagia ada yang diterima begitu. Namanya Rosa Ceti Perwitasari. Sore hari dia aku kirimi sms, ucapan selamat. Dia bilang masing bingung dan nervous. Biasa… aku bilang. Ada dua yang lain barengan dia yang masih diproses entah untuk posisi apa. Semuanya aku yang merekomendasikan. Seneng rasanya…<br /><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 16 September 2004<br /></span></strong><br />Sebulan persis aku di Jakarta. Pengalaman batin yang aku tuliskan tak sebanding dengan yang aku alami. Waktu sepertinya berlari sementara aku seperti merangkak. Ketika mengawali hidup di Jakarta aku bertekad untuk teratur berdoa, tetapi ya ampun… sedikit waktu yang aku luangkan untuk berdoa! Aku belum bisa berdoa. Terlalu banyak “kejutan” yang menunggu menjadi bahan doa, dan pintu belum terbuka lebar. Pintu jiwa ini masih terhimpit dua dunia yang belum ada kepastian pilihan. Perdebatan batin masih berkecamuk, sekedar untuk memilih fokus yang harus ditempuh. Masih luas ruang jiwa yang hampa…<br /><br />Tadi malam si Gita, putrinya Pak Herman, masuk rumah sakit karena sariawan di lidah dan tenggorokannya. Umurnya yang baru empat tahun tentu merasa sangat kesakitan dengan penyakit itu. Teriakan tangisannya membuatku tak tahan karena tidak bisa menolongnya. Tiga malam Bu Herman tidak bisa tidur. Pak Herman sendiri baru pergi ke Palembang. Begini kira-kira mempunyai anak balita…<br /><br />Satu per satu realitas Jakarta muncul ke permukaan jiwaku. Satu di antara sekian buanyak yang masih tersembunyi dan tidak dihiraukan orang yang punya harapan selangit untuk bisa menikmati Jakarta…<br /><br /><br /><span style="color:#ffcc33;"><strong>Jakarta, 16 Oktober 2004</strong><br /></span><br />Sebulan gak ada catatan. Apa yang telah aku buat dan alami? Suatu hari aku mendapat e-mail dari sebuah klien yang mengevaluasi kerjaku: aku tidak profesional. Spontan aku berang. Aku buat balasan habis-habisan, halus tetapi tajam. Tetapi balasan itu urung aku kirimkan. Aku ingat nasihat bukunya Sean Covey tentang bagaimana komunikasi yang baik. “Pahami dulu, sebelum minta dipahami”, “sebaiknya dalam berkomunikasi kita menjadi ibarat cermin bagi lawan bicara, alih-alih berpidato atau menghakimi”. Maka aku tulis balasan baru yang bernada menerima dan mencoba mencerminkan situasi mental orang yang memberi penilaian seperti itu pada saat itu. Hasilnya? Relasi kami kembali hangat, tidak ada “genderang perang”.<br /><br />Hari berikutnya aku menerima informasi dari salah satu klien perusahaan kami. Intinya membatalkan status “mau dicoba” pada seorang calon tenaga kerja kami yang sudah terlanjur dihubungi dan dia menampakkan antusiame. Lha, kini aku harus menyampaikan berita buruk itu. Saat aku hubungi dia, ternyata dia juga sudah terlanjur menyampaikan pengunduran diri kepada pimpinannya tempat dia bekerja sekarang, untunglah masih secara lisan. Aku pikir aku harus mensupport dia supaya mengurungkan niatnya itu, dan tetap menggeluti pekerjaannya yang baru dia masuki itu, sekalian untuk menimba pengalaman dan mengatur strategi hidup yang lebih baik. Aku tawarkan padanya bukunya Sean Covey supaya dia pinjam dan baca. Dia menerima usul itu.<br /><br />Hari berikutnya lagi aku harus berurusan lagi dengan situasi serupa namun lebih seru. Dua orang kandidat telah dinyatakan diterima. Tetapi direksi dari divisi lain perusahaan itu mengintervensi keputusan itu, sehingga status “diterima” menurun menjadi “ditunda dulu”! Lagi-lagi aku harus menyampaikan berita itu pada hari ketika salah satu calon itu akan datang menandatangi surat perjanjian/kontrak kerja! Dia malah sudah melangkah lebih jauh, sudah positif mengundurkan diri dari tempat kerjanya sekarang! Aku sempat kelabakan dan sport jantung. Untunglah dia dinyatakan diterima di perusahaan klien kami yang lain, dan dia memilih itu daripada terkatung-katung. Pfffff….!<br /><br />Hari berikutnya aku masih berharap ada pemberitahuan yang melegakan dari perusahaan yang menunda itu. Tetapi belum juga ada perkembangan positif, sementara aku harus memberitahu kandidat yang satunya lagi. Untunglah, Pak Suryoto masih mempunyai satu cara lagi untuk membantu kesulitanku ini. Beliau mencarikan lowongan lain yang segera bisa anak itu masuki. Pfffff….!<br /><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 18 Oktober 2004</span></strong><br /><br />Kemarin aku bete! Aku merasa orientasiku di Jakarta kacau, gara-gara identitasku sudah banyak tersebar. Mungkin ini fenomena umum yang dialami setiap ex-p. Semua rancangan dan perkiraan semula yang menyangkut sosialisasi menjadi lain sama sekali dengan realitas. Keluargaku di Cimanggis pun rupanya masih memilih sedikit berbohong tentang status keberadaanku di Jakarta setiap kali ada orang yang bertanya. Lepas dari ini kesalahan siapa, aku harus menghadapinya. Tetapi aku belum punya ide.<br /><br /><br /><strong><span style="color:#ffcc33;">Jakarta, 21 Oktober 2004</span></strong><br /><br />Setiap bangun pagi aku selalu bertanya, “Apa yang harus kuperbuat hari ini?” Aku tidak peduli apakah pertanyaan itu salah atau tidak. Bahkan tak terpikir apakah baik untuk memulai hari dengan sebuah pertanyaan. Barangkali yang lebih baik adalah seruan syukur. Namun, entahlah. Sepertinya aku merasa tidak terdukung untuk bersyukur. Hari-hari selalu aku lewati dengan pertanyaan, pertanyaan yang sebetulnya menggantungkan jawaban pada supporting-system yang selalu aku rindukan. Jiwaku saat ini memang sedang berada dalam rentang kerinduan. Hati mendamba dan berharap semoga di luar sana ada tangan-tangan lembut yang mau menyambutku; ada wajah-wajah menyapa dan menerima dengan ketulusan; ada kata-kata yang menghidupkan sanubari penuh kebijaksanaan cinta. Aku sendiri terlalu lunglai dan masih sangat bergantung pada luar duniaku.<br /><br />Setiap kali aku diingatkan oleh pertanyaanku sendiri, “Jalan mana yang harus aku lalui saat ini?” saat itu pula jiwaku seperti ditarik kembali ke titik nol, meskipun aku telah membuat beberapa langkah. Energiku seakan terserap lenyap dari tubuh jiwa ini. Dan lihatlah, ternyata memang aku belum beranjak dari tempat duduk kegelisahanku, meski pantatku sudah jenuh kesemutan.<br /><br />Hampir satu minggu ini pikiranku melayang, pengen segera pulang dan melepas segunung rindu pada cinta sejatiku, dengan kasih dan air mataku.<br /><br />Bagaimana hari ini aku harus bangkit berdiri dan melangkahkan kaki? Ah, mungkin memang harus merangkak dulu….. <strong><span style="color:#ff0000;">***<br /></span></strong>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7213353369679602933.post-71795840240763118142007-11-18T18:40:00.000-08:002008-12-10T02:55:51.812-08:00About this blog<blockquote><div align="right"><em><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Kandar's Blog</span> is a personal blog of a Catholic ex-priest who wants to keep running his role in the vitality of The Kingdom of God though in his weaknesses and limitations. He tries to keep living FAITH-HOPE-and LOVE in his life as a journey of a sacred pilgrimage. Indonesian language, but eventually in English.</em></div></blockquote><div align="left"><em><br /></em><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1l-3WmfwfFQhwFNUr72E2h5VHD_n94-NZXjpaUwL-mUXh0Fvpt9yAUwVg35YN6VGBB1sBt9BQv6NKDi0v5ZWO4obIvGEtrUrBZn1OvKJ6o5pET6pIEB6n6qnc4qD2Nkq-Hf18bSFMPM8/s1600-h/mas+kandar.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5134399560588416258" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1l-3WmfwfFQhwFNUr72E2h5VHD_n94-NZXjpaUwL-mUXh0Fvpt9yAUwVg35YN6VGBB1sBt9BQv6NKDi0v5ZWO4obIvGEtrUrBZn1OvKJ6o5pET6pIEB6n6qnc4qD2Nkq-Hf18bSFMPM8/s400/mas+kandar.jpg" border="0" /></a><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Deo gratias! </span>Syukur kepada Allah, Anda telah mengunjungi blog ini di sela-sela aktivitas on-line maupun off-line Anda. Sesuatu telah membawa Anda ke blog pribadi ini, entah secara sengaja karena undangan dari saya, maupun secara kebetulan karena proses terntentu di dunia maya. Apa pun itu, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan Anda!<br /><br />Menurut sebuah sumber pemantau blog di internet, setiap harinya ada sekitar 75.000 blog baru muncul di belantara maya ini. Maka bisa dibayangkan betapa beruntungnya saya karena kunjungan Anda ini. Di antara jumlah yang tak terhitung banyaknya itu, dan banyak dari mereka merupakan situs-situs menarik, handal dan profesional dengan rating tinggi, apalah keistimewaan dari blog pribadi ini?<br /><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Setiap blog pribadi sebetulnya unik</span>, sebagaimana setiap individu itu unik. Namun, untuk menampilkan diri secara jujur menyangkut sisi kehidupan yang sangat privat tentulah merupakan "keberanian" luar biasa. Apalagi hal itu menyangkut keingintahuan setiap orang mengenai orang lain: kebaikan, kecantikan, kelembutan, keluhuran budi, teladan hidup, dan (biasanya yang lebih disukai) sisi-sisi gelap orang lain seperti kejelekan, cacat dan keburukan orang itu.<br /><br />Blog artis, tokoh politik, figur publik, penjahat (kalau pernah tahu, hehehe...) pasti menarik untuk dikunjungi terutama oleh para penggemarnya. Tak ketinggalan pula blog milik teman karib atau "sahabat sejati". Kita (pengunjung) menjadi tahu lebih banyak tentang kegembiraan, duka kesedihan, keluh kesah dan harapan mereka.<br /><br />Saya bukan artis, selebritis, tokoh politik atau tokoh terkenal. <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Jadi mengapa membuat publikasi diri dengan blog ini?</span><br /><br />Bagi saya pertanyaan itu sangat serius. Saya sudah membuat banyak blog. Hampir semua berisi tentang apa yang saya pikirkan berupa opini atau ide. Boleh dikata blog-blog terdahulu itu adalah <span style="FONT-STYLE: italic">"obessive blogs" </span>saya. Ada obsesi berkaitan dengan visi dan misi hidup saya. Dengan blog-blog itu saya bermaksud untuk meneruskan "perutusan" yang dulu pernah secara resmi saya terima. <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Saya pernah ditahbiskan sebagai imam gereja Katolik</span> pada tahun 2000 lalu! Sejak 15 Agustus 2005 saya telah <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">"menanggalkan jubah"</span> imamat itu secara resmi dengan surat suspensi yang saya terima dari <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Mgr. Suharyo</span>, Uskup Agung Semarang. Jadi di balik blog-blog itu ada semacam motivasi balas budi yang belum seberapa.<br /><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Saya merasa berhutang budi</span> atas segala pengorbanan kasih yang saya terima hingga saya ditahbiskan menjadi imam dan lima tahun berkarya sebagai pelayan umat. Dengan blog-blog itu saya ingin tetap berkomitmen menjalankan fungsi pewarta Sabda Kasih Allah kepada semua makhluk.<br /><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Saya mengerti</span>, banyak orang menyayangkan pengunduran diri saya itu (mungkin Anda pun juga). Beberapa mungkin menghujat karena kecewa. Tetapi saya percaya, masih ada Umat Allah yang bisa memahami, menerima dan masih mencintai saya secara tulus, terutama kedua orang tua dan keluarga besar saya. Beberapa dari mereka bahkan masih menyambut saya dengan hangat, dan tetap menjalin relasi dengan saya. Saya sangat mensyukurinya.<br /><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Saya yakin juga</span>, banyak kenalan dan siapa pun yang ingin mengetahui keadaan hidup saya semenjak itu: bagaimana kabarnya, sekarang di mana, pekerjaannya apa, sudah berkeluarga atau belum (hehehe...), dll. Karena tak mungkin saya bercerita kepada setiap orang satu per satu, akhirnya saya memutuskan untuk membuat blog yang satu ini. Kadang ada perasaan rindu untuk bercengkerama langsung dengan mereka yang saya kenal maupun mengenal saya. Namun karena keterbatasan saya hal itu tidak segera bisa kesampaian. Blog ini, seperti sebuah diary, menjadi pengobat rindu itu. Siapa tahu, dunia maya ini masih memberikan kesempatan tak terduga itu.<br /><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">Meterai imamat itu</span> masih melekat dalam diri saya, sampai mati. Anugerah agung itu masih tetap saya syukuri sampai sekarang dan selalu, meski saya pelihara dalam kerapuhan bejana tanah liat. Blog ini adalah sebagian dari cara saya untuk mensyukuri dan memelihara anugerah itu supaya tetap terpancar dalam kehidupan pribadi sehari-hari. Tidak mudah memang. Tetapi saya percaya akan pertolongan Allah Mahakasih bagi umat-Nya.<br /></div><div style="TEXT-ALIGN: center"><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,0,0)">***</span><br /></div><br />Pada kesempatan awal ini, <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,204,51)">saya ingin mengucapkan terima kasih</span> kepada semua pihak yang telah berperan dalam hidup saya:<br /><br /><br /><ul><li><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">Bapak, Mamak dan adik-adik saya</span>, serta seluruh keluarga besar (Kakek-Nenek, Pakdhe- Budhe, Paklik-Bulik): Aku sangat mencintai kalian. Doa dan kasih seluas samudera yang kalian alirkan kepadaku adalah kekuatan hidup tiada tara. Kasih Allah sungguh nyata aku alami dari kalian. Aku masih memiliki "rumah" yang selalu menyambutku dengan hangat. <span style="COLOR: rgb(51,102,255); FONT-STYLE: italic">Deo gratias!</span></li></ul><ul><li><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">Para pendidikku</span>, guru TK, SD, SMP dan SMA Seminari Mertoyudan Magelang, serta para dosen di Fakultas Filsafat-Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Jogja: dari dan bersama Bapak-Ibu, Romo, Frater, Bruder dan suster, saya telah dibantu untuk mengenali dan memahami dunia ini secara lebih utuh. Tentu saja tak akan saya lupakan <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">para formator</span>, rekan-rekan seangkatan dan seasrama, baik di Seminari Menengah, Tahun Rohani, maupun di Seminari Tinggi St. Paulus: para Romo, Frater, Bruder dan Suster sekalian telah menjadi orangtua dan sahabat-sahabat saya yang kedua. Dari dan bersama Anda semua saya belajar mengenali dan menjalani panggilan hidup imami secara jujur dan penuh syukur. <span style="COLOR: rgb(51,102,255); FONT-STYLE: italic">Deo gratias!</span></li></ul><ul><li><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">Rekan-rekan imam</span> Keuskupan Agung Semarang dan seluruh kolegialitas para imam, <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">serta komunitas biara dan tarekat</span> yang saya kenal: dari dan bersama para Romo, bruder dan suster saya mengalami persaudaraan rohani yang hangat. Kadang saya rindu berada di tengah-tengah kalian seperti dulu. Namun kini saya meniti jalan unik ini. Doakan saya supaya status <span style="FONT-STYLE: italic">"dimissus" </span>yang saya sandang tetap memberi berkah karunia untuk tetap berperan dalam vitalitas Kerajaan Allah. Syukur (Ekaristi) tetaplah bergema di dalam maupun di luar meja rumah ibadat kita. Untuk kalian pula saya berdoa. <span style="COLOR: rgb(51,102,255); FONT-STYLE: italic">Deo gratias!</span><br /></li></ul><ul><li><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">Para pembimbing rohani</span> pribadi saya (Rm. Suto, Pr., Rm. Riawinarta, Pr., Alm. Rm. Kiswara, SJ., Rm. Maryana, SJ., Rm. Pujasumarta, Pr., Rm. Djonowasono, Pr., Rm. Wernet, SJ., Rm. Darmawijaya, Pr., Rm. Hartosubono, Pr., dan Mgr. Kartasiswaya, Pr.): dari dan bersama para Romo saya telah menerima pertolongan tak ternilai untuk menjadi orang beriman yang lebih dewasa. Dari dan bersama para Romo pula saya memperoleh "keberanian" mengatasi setiap keraguan dan ketakutan untuk melangkahkan kaki menjalani peziarahan hidup ini. Bersama para Romo wajah kasih Allah menerangi jalan saya ke arah-Nya, jalan yang selalu tampak indah untuk selalu disyukuri, dirayakan dan diwartakan. <span style="COLOR: rgb(51,102,255); FONT-STYLE: italic">Deo gratias!</span><br /></li></ul><ul><li><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. Suharyo</span>: Masih melekat kuat dalam ingatan detik-detik membahagiakan ketika saya menerima pengurapan dan penumpangan tangan dari Bapak Uskup. Masih melekat pula ingatan akan janji imamat yang saya ucapkan pada saat pentahbisan itu. Begitu juga masih hangat pula ingatan akan pelukan kasih Bapak Uskup tanpa mampu menyembunyikan wajah kesedihan ketika saya berpamitan setelah menerima surat tanggapan pengunduran diri. Tanggal 15 Agustus adalah tanggal bersejarah dan penuh berkah pula. Bapak Uskup, saya mohon maaf karena telah "nakal" dengan kesombongan saya dan ingkar pada janji tahbisan saya. Pelukan itu mengenangkan keteduhan figur Bapa yang baik hati dalam kisah tentang <span style="FONT-STYLE: italic">"The prodigal son".</span> Saya tak ingin menyia-nyiakan ketulusan kasih Bapak Uskup di hari itu. Mohon berkat untuk perjalanan saya selanjutnya, Bapak Uskup. <span style="COLOR: rgb(51,102,255); FONT-STYLE: italic">Deo gratias!</span><br /></li></ul><ul><li>Akhirnya, <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(51,102,255)">kepada seluruh umat Allah yang kudus</span>, secara khusus umat KAS: dari kalian saya berasal, dan kini kembali. Maafkan saya karena telah melukai hati Anda semua dengan pengunduran diri saya. Kesempatan pernah memimpin perayaan-perayaan sakramen dan ibadat bersama kalian adalah sejarah berkah yang selalu saya syukuri. Semua pelayanan sakramen yang melalui saya waktu itu sungguh-sungguh sah dan jangan ragu untuk melanjutkannya. Pengunduran diri saya tidak mempengaruhi sedikit pun akan karunia sejati yang semata-mata dari Allah sendiri. Atas semua kebaikan, perhatian dan kasih yang pernah saya terima saya mengucapkan terima kasih tak terhingga. Barangkali saat ini saya bukan apa-apa lagi. Tetapi di dalam lubuk hati saya tetap hidup semangat yang dulu saya hayati, meskipun sekarang ini menjadi lebih terbatas. Beginilah saya sekarang ini. Saya berdoa semoga Anda semua tetap teguh beriman kepada Kristus junjungan kita. "Berkah Dalem" itu masih menyatukan kita. <span style="COLOR: rgb(51,102,255); FONT-STYLE: italic">Deo gratias!</span><br /></li></ul><div style="TEXT-ALIGN: center"><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,0,0)">***</span><br /></div><br />Sekali lagi, terimakasih atas kunjungan Anda ke blog ini dan menyempatkan diri untuk membaca pengantar yang sangat panjang ini. Saya berjanji akan menyambut baik setiap kunjungan maupun sapaan Anda.<br /><br />Berkat dan kasih Allah menyertai hidup Anda dan kita semua. Amin. <span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,0,0)">***<br /><br /><br /></span><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,0,0)"></span>Kandar Ag.http://www.blogger.com/profile/00106306858643311865noreply@blogger.com1