Thursday, July 30, 2009

Setangkai Mawar Berduri untuk Perempuan Indonesia *)

Oleh: Agustinus Sukandar

“Remember the Dignity of your womanhood. Do not appeal. Do not beg. Do not grovel. Take courage. Join hands, stand beside me, fight with me!”
(Ingatlah akan martabat Anda sebagai perempuan. Jangan cengeng. Jangan mengemis-ngemis. Jangan rendah diri. Berbesarhatilah. Mari bergandeng tangan, berdiri di samping saya, berjuang bersama saya!)

PESAN Risa Amrikasari dalam buku terbarunya ‘Especially for You’ itu begitu kuat ditujukan kepada kaum perempuan. Misinya jelas: mengajak perempuan untuk bangkit dari ‘tidurnya’, dan bersikap tangguh dengan kesadaran yang cerdas tentang keluhuran martabatnya.

Risa bahkan memberi warning di sampul belakang buku setebal 372 halaman itu, “Anda termasuk orang yang senang membaca hal-hal yang membuai dan menghayutkan? Anda tidak akan menemukan itu di buku ini. Jika Anda berharap menemukan tulisan-tulisan yang romantis ataupun lemah lembut, Anda akan sedikit tertoreh dengan kalimat-kalimat saya.”

Dengan gaya bertutur yang tidak membosankan Risa menuliskan nukilan-nukilan pengalaman pribadi dari kehidupan sehari-hari ke dalam 65 judul artikel mandiri. Kenyataan yang sering diabaikan atau bahkan dihindari oleh orang-orang karena takut menyinggung perasaan, dia bongkar dengan teliti untuk kemudian mengemukakan sikap mana yang harus dikritisi dan diubah, serta mana yang patut dibela. Ia mengulas dari soal mengelola perasaan, kepercayaan terhadap pasangan, perselingkuhan, cinta dan pacaran, sopan santun, perkawinan, perselisihan pendapat, pelecehan seksual, seks di luar perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, urusan kantor dan pekerjaan, hingga soal tradisi, agama, bahkan birokrasi, politik, hukum dan perundang-undangan.

Memang, buku ini ditujukan ‘teristimewa bagi perempuan’. Namun kaum laki-laki pun sebetulnya diam-diam menerima ‘kado’ yang sangat bernilai. Meski tema pokoknya adalah martabat perempuan (womanhood dignity), namun siapapun – termasuk laki-laki – yang membaca artikel demi artikal dalam buku ini, seperti diajak me-review kembali pemahaman dan sikapnya berkaitan dengan keluhuran martabat sebagai manusia (human dignity). Buku ini memberi model untuk sebuah upaya demi kemajuan dan kemerdekaan perbikir di Indonesia, terlebih untuk kaum perempuan yang enggan untuk bertatapan langsung dengan persoalan-persoalan esensial seperti itu.

Rupanya Risa sadar betul, bahwa untuk membongkar kesaradan akan martabat perempuan tak akan tercapai bila menggunakan cara penyampaian deduktif, biarpun terstruktur serapi mungkin. Pengalaman empiris dari hidup sehari-hari menjadi jalan yang jitu, karena perempuan sangat akrab dengan hal-hal yang detil dan teliti, apalagi menyangkut wilayah ‘domestik’ dunia perempuan. Proses pergulatan Risa melalui medium pengalaman sehari-hari itu dia bagikan dengan kapasitasnya sebagai seorang perempuan yang tidak rela bila sesamanya rapuh dan menyerah pada konsep-konsep yang membelenggu.

Dilahirkan 22 Oktober 1969, perempuan cantik ini dibesarkan dalam keluarga yang mendidiknya dengan penuh cinta dan rasa hormat. Bakatnya untuk cermat terhadap detil hidup sehari-hari dan tak bisa duduk berdiam diri berlama-lama dalam mengerjakan sesuatu, membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang cekatan, tangguh dan resourceable (bisa diandalkan). “Always make a total effort, even when the odds are against you” adalah kutipan favoritnya dari Arlnold Palmer.

Lulusas Fakultas Sastera Inggris Universitas Nasional tahun 1994 ini sekarang sedang mendalami Ilmu Hukum di Program Magister Hukum UGM, sambil bekerja di International Organization for Migration sebagai Government Liaison Officer dan sebagai Associate pada Prihartono & Partners, sebuah kantor hukum di Jakarta. Buku pertamanya ‘You Need a GOOD LAWYER to Set You Free from the Jail of Your Heart’ sukses merebut hati pembaca. Tulisan-tulisan di blognya sangat diminati oleh penggemarnya.

Tak heran bila tema-tema dalam artikel di buku yang kedua ini sangat kental dengan kasus-kasus yang bersinggungan dengan hukum dan tak jauh dari perjuangan hak-hak asasi serta martabat manusia terutama perempuan. Di artikel terakhir, ‘Perempuan, lawan kekerasan itu!’ secara mendetil Risa mengajak kaumnya untuk mengenali pasal demi pasal UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan yang bermartabat jangan sampai terjebak menjadi korban apalagi sebagai pelaku kekerasan domestik!

Gaya bertutur Risa yang lugas enak dibaca, seperti mendengarkan seseorang yang curhat, ngerumpi, tetapi bermutu karena menggugah pembacanya untuk memakai cara pandang baru, bersikap positif dan cerdas, tidak hanya dikendalikan oleh emosi dan perasaan dalam hidupnya! Remake yourself, refresh yourself! (hlm. 40-47), sehingga ada ‘nyanyian baru’ dalam hidup pembaca.

Meski beranjak dari pengalaman personal domestik keperempuanan, Risa Amrikasari berhasil memasukkan isu politis. The personal is political.

Isu ini populer dalam gerakan-gerakan feminis di Amerika pada paruh kedua tahun 70-an, dan mendapatkan ruangnya dalam proses kreatif para seniman perempuan Amerika (feminist art).
Generasi pertama dari gerakan-gerakan feminis ini cenderung mengeksplorasi isu-isu multikulturalisme dan feminisme dengan berangkat dari pernyataan identitas perempuan dan upaya perlawanan. Simbol-simbol visual yang mereka gunakan, menyampaikan pesan secara verbal dan kontroversial. Mereka mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tubuh dan isu komodifikasi. Pengalaman keperempuanan ditatapkan dengan wilayah sosial, bahkan politik. Karya-karya mereka merupakan bagian dari gerakan politik untuk mendukung kesetaraan dan persamaan hak bagi perempuan. Dalam proses berkarya mereka langsung bersentuhan dengan problem riil dalam masyarakat, menciptakan diskusi dan pemikiran, menginisiasi perdebatan dan bersifat partisipatif untuk proses sosial.

Alih-alih menggunakan bahasa yang verbal, generasi kedua cenderung menyampaikan kritisisme mereka dengan metafor. Pengalaman personal yang bersentuhan dengan isu-isu sosial-politik aktual menghadapkan mereka pada berbagai kontradiksi yang kemudian dituangkan dalam karya sebagai sebentuk kritisisme untuk membangun dialog yang berkaitan dengan isu tertentu. Relasi antara agama dan manusia, yang nyata dengan yang maya, harmoni dan ancaman, menjadi isu-isu yang mereka angkat. Dalam isu-isu itu ada semacam tuntutan tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Sementara generasi ketiga menampilkan pengalaman personal dengan keinginan untuk merayakan dan membagikan pengalaman itu, bukan dengan spirit untuk melawan atau berpartisipasi menciptakan diskursus tertentu. Mereka cenderung 'menerima' situasi-situasi dimana perempuan mempunyai lebih banyak pilihan sebagai sesuatu yang 'given'. Mereka ini umumnya tidak menjumpai kesulitan untuk berkontribusi dalam kehidupan publik. Karya-karya mereka dekat dengan budaya populer.

Risa Amrikasari pasti mengerti tentang pola-pola dalam gerakan para seniman perempuan, dan sadar betul tentang porsi mana yang pantas diberikan kepada kaum perempuan Indonesia. Di sinilah, kepiawaian Risa ditampilkan dalam membagikan gagasan-gagasan perubahannya. Mungkin ciri pertama terkesan begitu kuat. Namun barangkali perempuan Indonesia saat ini memang harus ‘digebrak’ dengan pendekatan seperti itu.

Untuk membaca tulisan-tulisan Risa Amrikasari dalam buku ini rasanya tak perlu memasang ‘kuda-kuda’ terlebih dahulu seperti mau bertempur menghadapi lawan yang asing. Namun yang dibutuhkan adalah hati yang terbuka, seperti kedua belah telapak tangan yang menyambut setangkai mawar merah dari pribadi yang benar-benar tulus mencinta. Mawar itu harum wangi, meski tangkainya bisa saja berduri… [skd]

Judul buku : Especially for You, A collection of Self Motivation Articles for Tough Women Only.
Penulis : Risa Amrikasari

Penerbit : Rose Heart Publishing

Editor : Risa Amrikasari
Edisi : Cetakan pertama, 2009
Percetakan : PT. Gramedia, Jakarta
Halaman : xx +352

*) Dimuat di halaman opini Harian Merdeka, Kamis, 30 Juli 2009.

Thursday, July 16, 2009

Tarmin* (Cerpen)

Pagi ini terjadi ledakan bom di Mega Kuningan, Jakarta. Sebuah peristiwa yang mengingatkanku pada peristiwa serupa tahun 2004 lalu. Peristiwa seputar ledakan bom waktu itu menginspirasikanku untuk menulis sebuah cerpen berjudul Tarmin di bawah ini. Pernah dimuat di Mingguan HIDUP, edisi Februari 2005.

TARMIN
Oleh: Ag. Sukandar

Tarmin dengan sabar menunggui gerobak teh botolnya. Sesekali dia melayani pembeli dari antara kerumunan orang yang beberapa hari ini membuat jalanan macet. Omzet penjualan teh botolnya naik dua kali lipat semenjak kemarin lusa.

Sebetulnya Tarmin menyembunyikan kebingungan di sudut hatinya. Dia bertanya, apakah ini suatu berkah atau kutukan. Kalau berkah, mengapa justru mengalir dari darah dan potongan-potongan tubuh yang pernah tercecer di ruas jalan itu. Kalau kutukan, mengapa sekarang keuntungan yang dia peroleh berlipat ganda. Atau, jangan-jangan ini bagian dari kutukan yang karmanya akan dia terima entah suatu saat nanti. Tetapi, ah... mengapa pusing-pusing menjawab pertanyaan yang tak mungkin mampu dia jawab itu. Aku toh bukan rohaniwan, agamawan, moralis, apalagi filsuf. Penjual teh botol gerobak, iya! Dan yang jelas, bukan teroris atau provokator!

Rupanya Tarmin tidak tahu bahwa soal identitas seseorang belakangan sempat membuat setiap HRD manager kantor sepanjang jalan itu kelabakan. Di antaranya bahkan ada yang baru mulai berpikir mengenai ID Card untuk karyawannya. Mereka baru sadar, betapa pentingnya secarik kartu laminatingan yang dikalungkan di leher atau dijepitkan di dada. Di situ tertera nama, jabatan, dan nomor induk dari tempat si pemakai bekerja. Kalau terjadi apa-apa atas diri karyawannya, segera sang manager tahu, dan segera mengurus klaim asuransi atau jaminan ini-itu. Kartu itu bisa menjadi passport masuk gedung perkantoran megah di Jl. Sudirman. Bahkan, yang tercanggih sekaligus bisa digunakan untuk kartu kredit berbelanja atau untuk mencairkan gaji di ATM. Gesek sedikit, beres!

Tarmin tak punya itu. Ada, KTP lusuh, tetapi masih berlaku. Barangkali kalau dia kena bom, KTP-nya itu akan hancur juga berkeping-keping. Selanjutnya, akan ada judul di koran 1000 rupiahan yang dijual di lampu merah, “Penjual teh botol tewas kena ledakan bom!”

Namun, sekali lagi Tarmin saat ini tidak berpikir akan hal itu. Mungkin karena dia bukan bawahan atau tanggung jawab siapa-siapa. Dia menjadi bos bagi dirinya sendiri, meski hanya sebagai penjual teh botol gerobak dorong. Soal ID Card, cukuplah KTP lusuhnya. Kalau itu hancur juga karena kena bom misalnya, ya sudah! Kalau memang begitu cara dia akan mati, yang bagaimana lagi! Soal ini dia percayakan kepada Yang Di Atas. Pasrah.

Saat ini hatinya lebih digusarkan oleh pertanyaan tadi. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Sepertinya ada segoncangan teror atas identitasnya sebagai penjual teh botol pasca ledakan bom di tempat dia mangkal sekarang ini. Dia digoncang oleh pertanyaan, apakah aku adalah orang yang mengambil keuntungan dari sebuah tragedi! Barangkai perasaan ini terlalu berlebihan. Tetapi, itulah Tarmin, seorang urban baru dari pelosok desa yang mudah berempati pada penderitaan orang lain. Sementara dia tidak tahu jawaban atas pertanyaannya itu, entah mengapa sambil membukakan tutup teh botol dan memasukkan sedotan plastik ke dalamnya untuk “penonton masterpiece sang teroris” yang kehausan, dia membatinkan sebuah doa untuk para arwah jenazah yang sekarang masih di rumah sakit.

Dia berdoa, “Ya Tuhan, semoga mereka beristirahat dalam damai. Dan semoga rejeki yang aku terima ini tidak membawaku kepada kegelapan azab neraka, melainkan kepada hidup yang penuh syukur dan ampunan dari-Mu.” Dengan doa itu rasa bersalahnya seperti telah dia bayar. Hatinya sedikit terasa nyaman. Doa itu dia ulang-ulang menjadi sebaris dzikir sembari menunggu ada pembeli memesan teh botolnya. Mulut hatinya mengucapkan doa itu meski matanya sibuk mengikuti lalu-lalang orang dan kendaraan di depannya.

***

“Mas, kalau mau ke Kampung Melayu sebaiknya lewat mana ya?”

Tiba-tiba doa si Tarmin terhenti oleh pertanyaan seorang cewek muda yang sedang dia layani. Dia sudah puas motret sana motret sini dengan kamera HP-nya. Dia memesan 2 teh botol, yang satu untuk seorang lelaki sebayanya yang menunggu di atas motornya.

“Oh, Kampung Melayu... Hmmm..., Mbak ambil jalan ini lurus ke Selatan, sampai di jembatan layang, ambil jalan ke Timur. Nah, lurus saja nanti akan ada papan petunjuk.”

“Selatan itu mana sih, Mas? Aku bingung mana Utara-Selatan Timur-Barat di Jakarta ini. Lebih mudah kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, hehe...”

Kemayu juga ini cewek, pikir Tarmin, mengamati caranya bicara. Cewek itu senyam-senyum tanpa memandang Tarmin, karena mata dan jempol jari tangannya sibuk dengan HP berkamera seharga kira-kira 4 ekor kambing jantan itu.

“Jalan ini arahnya Utara-Selatan. Nah Selatan itu sono...” terang Tarmin sambil menunjuk arah mataangin yang dimaksud.

Makasih ya Mas...”

Kasihan. Soal kiblat mataangin, cewek Jakarta ini tidak tahu! Tarmin segera ingat beberapa pembicaraan orang muda saat ngerumpi soal arah, ke arah mana harus ke Mall Mangga Dua, letak Casablanca dari arah Grogol, dsb. Bukan Utara-Selatan Timur-Barat yang dia dengar. Tetapi hanya kiri-kanan. Mungkin kiblat yang berlaku di Jakarta hanya itu: kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah! Mungkin mereka tak pernah melihat di mana matahari terbit dan terbenam, meski mereka percaya kalau matahari terbit di Timur dan tenggelam di Barat.

“Min, bapak pesan, di Jakarta kamu jangan sampai kelangan kiblat! Apa pun yang terjadi. Dengan itu kamu masih bisa pulang .... Dengan itu pula kamu tahu bagaimana harus sujud berdoa ...” tiba-tiba pesan bapaknya sebelum Tarmin merantau ke Jakarta ini terngiang kembali.

Tarmin tidak melupakan itu. Hanya sekarang dia memahami dimensi lain mengenai kiblat yang mesti dia pegang di Jakarta. Kiblatnya menjadi simpel, tetapi bisa berakibat fatal. Cita rasa moral-religius-simbolisnya sebagai orang Jawa pelosok mencoba menterjemahkan hal ini. Sederhana sekali: kiri berarti salah, kanan berarti benar; belakang berarti mundur, depan berarti maju; atas berarti kejayaan, dan bawah berarti kekalahan. Entah mengapa, Tarmin tiba-tiba merasa menjadi orang yang harus bijaksana di Jakarta ini. Dalam bahasa Tarmin, bijaksana berarti ndalan (Jw.: setia berada di jalan yang benar), yaaah.... meskipun saat ini dia baru bisa di pinggiran jalan. Bijaksana di Jakarta berarti harus punya orientasi yang jelas, bukan hanya soal arah mataangin, tetapi soal bagaimana orang harus hidup. Saat-saat pertama tiba di Jakarta, Tarmin hampir selalu dipusingkan oleh macam-macam pertanda alam yang harus dia maknai sendiri. Apa yang terjadi di jalan telah berbicara mengenai banyak hal kepadanya tetang kehidupan di belantara kota Jakarta ini. Saking banyaknya, hampir-hampir dia tergoda untuk mengabaikannya saja, daripada gila karena adanya konflik batin antara yang semestinya dilakukan dan yang sudah lumrah dilakukan banyak orang. Hampir-hampir dia tergoda untuk berprinsip, “Kalau mau hidup di jalanan Jakarta, jangan ikut aturan! Bisa-bisa malah celaka!”

“Aku tidak mau celaka!” pekik Tarmin dalam hati.
“Tetapi aku tidak mau bersembunyi dari matahari di Timur dan Barat!” sekali lagi Tarmin menegaskan dirinya, “Entah apa pun yang terjadi .....”

Cewek dan cowok tadi sudah pergi ke Selatan, dengan 4 ekor kambing tergantung di tali HP yang melilit leher cewek itu. Tarmin masih setia di pinggir jalan dekat lokasi tragedi. Botol-botol teh di gerobak Tarmin mulai banyak yang melompong kosong. Jalan itu makin ramai saja menjelang hari gelap kali ini. Polisi masih memasang posko keamanan, dan petugas investigasi masih sibuk periksa ini-itu. Sekali waktu jeprat-jepret lampu blitz dan sorot lampu kamera reporter televisi menerangi sudut-sudut tertentu, dan barangkali besok hari ada berita dan liputan kecil dari mereka di media masa. Pembaca, pendengar dan pemirsa tentu menanti-nanti, apakah ada yang baru yang belum aku ketahui? Mereka beli koran, setel radio dan televisi, berharap akan berita baru yang lebih sensasional.....

“Yaaa..... se-sensasional segarnya teh botol di gerobakku ini, ketika mengalir membasahi kerongkongan orang yang kehausan!” pikir Tarmin sambil meneguk sediri teh botol terakhir yang tersisa di gerobaknya.

“Betul! Sama sensasionalnya!” Tarmin tersenyum. Sepertinya dia sedikit memahami jawaban atas pertanyaannya tadi. []

Jakarta, 6 Desember 2004

* Pernah dimuat di Mingguan HIDUP, edisi Februari 2005.

WidgetBucks - Trend Watch - WidgetBucks.com