Wednesday, November 21, 2007

Jangli? Makna Rohani!

Waktu itu petang hari, Sabtu, 02 Maret 2005, saat matahari sudah tenggelam. Lampu-lampu jalan sudah menyala menerangi dua orang muda yang sedang berjalan beriringan sambil memperbincangkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Percakapan mereka begitu hangat, kadang-kadang diselingi tawa, kadang serius dengan topik mendalam. Sebetulnya mereka bisa mengendarai motor berboncengan, tetapi hal itu sengaja tidak dilakukan.

“Kita berjalan kaki saja. Aku pengen mengenal sudut-sudut daerah ini,” kata salah satu dari mereka. Dia memang pendatang baru, sementara yang satunya sudah lebih dahulu berada di Jakarta. “Lagipula kita bisa omong-omong. Emaus.... Emaus.... Iya toh?” lanjutnya.

“Hehe... jadi ingat masa-masa di Jangli dulu ya?” tanggapan yang satunya bernada menyetujui.

“Aku ingin mengawali hidupku di Jakarta ini benar-benar dalam rangka peziarahan, siji sing diarah. Bagaimanapun juga sekarang ini status kita masih imam Keuskupan Agung Semarang....”

Selain teman-teman sekantor, tidak ada yang tahu kalau ternyata kedua orang muda di jalan sore itu adalah imam! Karena penyelenggaraan ilahi – begitu mereka memaknainya – mereka menjalani masa extra domus, menanggalkan fungsi-fungsi imamat untuk sementara waktu.

“Apa pun ujung peziarahan kita di Jakarta ini nantinya, asal kita tidak terlepas dari iman kepada Yesus Kristus junjungan kita, pastilah Dia akan berkenan, dan pastilah itu baik adanya. Pasang mata-telinga-hati-dan pikiran! Semuanya mempunyai makna asal kita memakai kacamata yang benar.”

“Untung kita diperkenalkan dengan yang namanya makna rohani ketika di Jangli dulu ya...”

“Persis! Itulah kacamatanya!”

Tidak terasa dua orang muda yang ternyata imam itu sampai di sebuah toko voucher pulsa handphone, tujuan mereka sore itu. Tidak lama kemudian mereka keluar dari toko itu untuk kembali pulang ke mes. Namun salah satu dari mereka tiba-tiba membungkuk. Matanya tertuju ke sebuah benda di tanah. Warnanya kuning kecoklatan berbalut tanah berpasir. Diambilnya benda itu dan diusapnya. Sebuah salib kecil! Mereka berdua terpana terdiam sejenak.

“Rumaten salib iki!” tanpa komando apa pun tiba-tiba mereka berdua saling berteriak tertahan secara berbarengan. Ada nada haru, sekaligus terasa kobaran api menyala tak terumuskan saat itu.

“Kok ya kamu melihatnya?”
“Lha mbuh...”
“Kebetulan?”
“Dalam keyakinanku, tidak ada kebetulan dalam kacamata makna rohani.”
“Allah berbicara kepada kita, Dab (Mas)!”
“Tuhan beserta kita...”
“Sekarang dan selama-lamanya...”
“Amin!”

Bergantian mereka menciumi salib kecil itu, dan mereka pulang ke mes dengan suasana hati berkobar-kobar dalam keteduhan salib kecil berbalut debu itu. Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak habis-habisnya memperbincangkan soal salib kecil yang mereka temukan itu. Mereka tidak berebut untuk memiliki logam kuningan itu. Tanda itu sudah cukup untuk membahasakan salib dalam hati mereka masing-masing. Mereka menganalogikan jalan-jalan sore itu sebagai perjalanan dua murid dari Emaus. Dan sejak saat itu ‘Rumaten salib iki!’ menjadi refrain mereka berdua di tengah pergulatan hidup di pengasingan di belantara kota Jakarta. Dalam sinar salib kecil yang mereka temukan Sabtu sore itu, Jakarta betul-betul menjadi medan peziarahan rohani, peziarahan rohani dua orang imam muda extra domus yang ingin mempertanggungjawabkan hidup mereka dalam iman yang sungguh-sungguh.

***

Makna rohani! Itulah Roh Jangli yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh pria-pria muda besutan Wisma Sanjaya. Itulah dua kata yang sangat operasional mulai bangun pagi sampai malam saat pergi tidur, dan akan terasa sayang bila diabaikan. Sekurang-kurangnya si frater akan kerepotan pada Jumat sore bila serentang minggu yang telah lalu dia belum dapat merumuskan insight rohani apa-apa untuk disharingkan sebagai makna rohani pada saat rapat komunitas. Muka merah dan hati berdebar. Ada secuil rasa malu pada teman-teman sekomunitas dan romo rektor. Dan tentu saja malu pada diri sendiri.

Bagaimana tidak, biarpun hanya sepenggal kata untuk merumuskannya, didalamnya dipertaruhkan otentisitas dan simplisitas sebagai pribadi terpanggil di hadapan Allah. Otentik, karena murni dari pengalaman individual yang jujur dan tulus, bukan jiplakan dari pengalaman teman. Simple, karena iman tumbuh berkembang dari kesederhanaan hati; hanya dalam kesederhanaan itulah kerja offisi rutin membosankan, aktivitas harian dan alam semesta bisa menampakkan kuntum-kuntum atau puncta spiritualis yang sangat berarti. Kebijaksanaan dan kecerdasan iman memperoleh nutrisinya. Sabda Allah dalam Kitab Suci dapat sungguh hidup. Karena muncul dari kesederhanaan, kadang-kadang makna rohani ditemukan dalam pengalaman konyol dan lucu, tak terduga dan tak bisa direkayasa. Untuk merumuskannya pun kadang diperlukan keberanian dan ke-nekad-an. Sepintas terkesan, demi sebuah makna rohani seorang frater mengadakan petualangan rohani dalam seminggu. Namun lebih dari itu, sebetulnya ada sikap hati yang mendamba sapaan Allah di luar media rohani formal seperti puncta, doa rosario, brevier, ibadat, adorasi dan Ekaristi. Avontur rohani itupun menjadi peziarahan iman untuk melihat, mendengarkan dan mengikuti Allah yang bersabda dan berkarya setiap saat, Allah yang menyelenggarakan kasih-Nya tanpa batas. Bagi para frater yang dilanda kehampaan makna rohani, ayat-ayat Kitab Suci telah siap membantu menggarisbawahi pengalamannya... tentu bila dibaca dengan sungguh. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7).

Memanglah dibutuhkan kecerdasan iman untuk merumuskan makna rohani. Secara serentak proses perumusan itu sendiri mengasah kecerdasan iman para frater. Allah yang mengasihi adalah Misteri. Salah satu bahasa yang pada hemat saya cukup mewakili untuk menangkapnya adalah bahasa analogi antara dua dimensi: dimensi insani dan dimensi ilahi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, yang wadhag dan yang rohani. Dimensi yang satu menggetarkan yang lain; orang musik bilang: terjadi resonansi. Orang yang mampu menangkap getar resonansi itu mempunyai kepekaan hati. Afeksi seseorang berkembang karena kepekaannya terhadap tanda-tanda semesta (zaman) di sekelilingnya. Di Jangli, pendampingan hidup beriman sebagai manusia panggilan untuk imamat tidak mengabaikan aspek ini.

Bagi saya pencarian makna rohani adalah sebuah tradisi yang ditanamkan kuat di Tahun Rohani Jangli, bahkan menjadi cara kerja bagaimana saya menghayati iman. Sebagai sebuah tradisi, habitus merumuskan makna rohani tidak berhenti pada rapat komunitas terakhir di Jangli saja. Habitus itu berlanjut di Seminari Tinggi, semasa menghayati hidup imamat, dan sampai sekarang ini ketika saya sudah meletakkan jabatan imamat itu. Makna rohani-makna rohani yang terhimpun menjadi untaian rahmat Allah yang membimbing dan menguatkan langkah hidup saya. Bahkan, beberapa pengalaman hidup masa lalu baru bisa saya tangkap dan rumuskan maknanya jauh sesudah peristiwa itu berlalu.

Kentut = kabar gembira!

Saya lupa persisnya kapan, ketika di Tahun Rohani saya pernah menderita keracunan. Teman-teman menduga saya keracunan ikan tongkol yang dihidangkan di refter. Perut saya sebah (tidak enak), rasanya penuh angin dan kenyang selama tiga hari. Repotnya, saya tidak bisa buang air besar. Bahkan kentut pun tidak bisa! Teman-teman pada tertawa! Hanya ingin kentut saja nggak bisa! Hari ketiga ada teman yang memberi saya susu untuk diminum. Dan pada hari itu juga saya bisa kentut, lega rasanya... teman-temanku ikut tersenyum senang, meski soal kentut itu akhirnya sempat menjadi olok-olokan untuk saya.

Tahun 1998 ketika saya tingkat V FTW, saya harus menjalani operasi usus buntu. Lagi-lagi soal kentut menjadi tema! Setiap orang yang membesuk saya selalu bertanya, “Sudah kentut belum?” Begitu pentingnya kentut bagi mereka, pikir saya. Sebab katanya, sehabis operasi bila sampai kemasukan minuman atau makanan sebelum kentut, bisa fatal akibatnya. Saya baru kentut setelah hari kedua sesudah operasi. Baunya minta ampun! Tetapi orang senang mendengarnya. Kakak saya yang menemani saya, tidak peduli dengan bau itu. Kentut saya waktu itu menyenangkan keluarga saya.

Kentut dinanti dan dirindu, padahal menjengkelkan bagi beberapa orang!

Saya sempat terusik oleh ironi ini. Namun, syukur kepada Allah! Saya jadi memahami kentut orang lain, dan lebih dari itu saya memahami salah satu peristiwa iman yang dialami Bunda Maria pada awal perutusannya. Saya berdoa semoga cara pemahaman saya tidak keliru. Saya memahami demikian: Ketika Maria menerima “kabar gembira” dari malaikat Gabriel bahwa dia akan mengandung Mesias dari Roh Kudus (bdk. Luk 1:26-38), pada saat itu – ampun ya Bunda – Maria ibarat “dikentuti” oleh Allah! Betapa tidak?! Dia belum bersuami, tetapi harus hamil mengandung bayi Yesus. Kehadiran Mesias dinanti oleh Maria dan seluruh bangsa Israel, kegembiraan seluruh dunia; tetapi hamil di luar nikah adalah kenajisan yang harus dibayar dengan rajam sampai mati. Maria harus menerima itu, dengan iman yang teramat besar dan mendalam....

Belajar dari kentut dan peristiwa Maria Annunciata yang kita rayakan setiap tanggal 25 Maret itu, saya belajar menghayati iman dan hidup dengan cara pandang yang positif. Saya meyakini, sepahit apapun peristiwa dalam hidup ini, di situ Allah juga menyampaikan kegembiraan, Dia menjalankan karya penyelamatan-Nya. Kentut bisa membuat orang bersungut-sungut, tetapi bisa juga membuat orang tersenyum geli tertawa gelak. Saya memilih yang terakhir, dan ini adalah pilihan iman! Peziarahan iman di dunia ini akan sangat melelahkan bila dipenuhi “sungut”, namun akan menggairahkan bila disertai senyum dan muka cerah-ceria.

Oleh karena tradisi makna rohani mulai dari Jangli-lah, saya bisa tersenyum bersama Allah dengan kekonyolan-kekonyolan-Nya yang mampu saya tangkap dengan cara seperti itu. Selanjutnya, “biarlah segala makhluk memuji nama-Nya yang kudus untuk seterusnya dan selamanya” (Mz 145:21).

***

Selamat merayakan Pesta Perak untuk Wisma Sanjaya. Aku bersyukur dan bergembira boleh menghirup nafas di tempatmu 15 tahun yang lalu ketika aku diajak mengenali kasih Allah secara mendalam; dan 2 tahun yang lalu ketika aku memantapkan langkahku untuk menapaki jalan baru peziarahan imanku. Semoga siapa pun yang pernah, sedang dan akan melewati hari-hari hari di tempatmu senantiasa disegarkan oleh hembusan Roh Kudus. Terima kasih kepada para romo pembimbingku, Romo Pujasumarta dan Romo Djono, Romo Hartosubono, Romo Priambono, Sr. Antonia, Sr. Francisca, rekan seangkatan, sahabat sekomunitas, dan tak lupa Mami Sikep. Terima kasih kepada umat Allah atas doa dan perhatian yang kami terima. Aku juga berdoa untuk kebahagiaan kekal Romo Kardinal Darmoyuono dan Romo Nata Susila almarhum yang telah mendahului kita menghadap Bapa.

Proficiat! Wisma Sanjaya, aku membanggakanmu! ***


Jakarta, 18 Maret 2006

Pada bulan permenungan Salib Kristus
(maaf, bulan permenungan “kentut” Allah juga!)

No comments:

Post a Comment

WidgetBucks - Trend Watch - WidgetBucks.com