Monday, November 19, 2007

Akhirnya aku tiba di Jakarta

Berikut catatanku beberapa hari setelah kedatanganku di Jakarta:
Waktu itu aku diantar oleh Rm. Hartosubono, Pr., rektor Tahun Rohani Jangli. Selama setahun aku memang berada di Jangli, di bawah pendampingan beliau, rekan sekomunitas bersama para frater dan Rm. Priambono, Pr. Dari Stasiun Tawang Semarang tgl. 16 Agustus 2004 naik kereta bisnis, turun di Jatinegara. Mampir ngopi sebentar dan akhirnya naik taksi ke Kramat VII, untuk sejenak istirahat di Wisma Unio. Di sana disambut Rm. Sunu, Pr. yang waktu itu bertugas di Kerawam KWI. Siang hari naik taksi lagi ke Pondok Kelapa Indah B-IV no. 10 Kalimalang, Jakarta Timur. Harus tanya-tanya, karena aku sendiri agak lupa. Akhirnya ketemu. Tentu saja kantor Seruni tutup, hari itu persis 17 Agustus. Akhirnya aku dan Rm. Bono pergi ke rumah Bp. Kasyanto, teman seangkatan dan sekampung Rm. Bono.

Mulailah hari-hariku di Jakarta.... 18 Agustus 2004 adalah hari pertamaku masuk kantor Seruni. Sebagai tempat tinggal aku diperbolehkan menempati mes yang waktu itu sudah ditempati Bp. Mathias Herman, adik kelasku di Kentungan dulu, bersama istri dan satu anaknya, serta Wahyu Sri Kuncoro yang waktu itu masih sebagai frater probasi (tapi akhirnya memutuskan mundur juga, hehehe...). Selain di mes, sering aku tidur di rumah kakakku, Jusup Mujiman di Cimanggis Kelapadua, Depok, 28 kilometer dari kantor. Lajo dari sana. ***


Jakarta, 30 Agustus 2004

Akhirnya aku tiba di Jakarta!
Jakarta itu belantara!
Jakarta itu lautan manusia!
Jakarta itu raksasa dengan bau nafas pengap persaingan!
Siapa tidak ulet, tak bisa hidup di sini.
Jangan terlalu membidik posisi terlalu tinggi deh!
Lihat tuh, buanyak pelamar berijazah S-1, S-2,
bahkan yang sudah pernah belajar dan bekerja di luar negeri pun menganggur!
Lulusan SLTA tidak kalah buanyak. Tetapi rupa-rupanya mereka malah lebih beruntung karena banyak lowongan yang membutuhkah tingkat itu. Dan umumnya, lulusan SLTA yang berani mengadu nasib di Jakarta tentulah mempunyai semangat yang luar biasa. Mereka mau memulai dari pekerjaan dengan posisi bawah sekali.

Aku datang ke Jakarta dengan dugaan dan persiapan yang berbeda sekali dengan kenyataan yang akhirnya aku hadapi. Aku mengepak barang-barangku sebanyak 7 kardus Gudang Garam! Sampai di sini, sudah dua minggu aku di Jakarta, masih ada tiga kardus yang calonnya hanya akan berkurang sedikit isinya. Bukan karena apa-apa. Di Jakarta ternyata tidak butuh banyak barang yang terlanjur aku bawa itu. Selain tidak ada tempat, barang-barang itu pasti tak akan pernah tersentuh. Aku hanya butuh: pakaian secukupnya, uang untuk transport, piring dan sendok, gelas gula dan kopi, handuk dan alat mandi, bantal dan alas tidur berikut obat nyamuk. Sudah.

Aku berangkat kerja jam 07.30, pulang sekitar jam 19.00. Sampai di rumah sudah kelelahan, hanya pengen segera pergi tidur.

Sampai tanggal ini aku belum mendapat gaji. Jadi uangku defisit terus untuk transportasi dan makan. Per hari uang transport 2 ribu rupiah, makan 5,5 ribu rupiah, rokok 5,5 ribu rupiah. Jadi rata-rata per hari aku mengeluarkan uang sebesar 13 ribu rupiah. Dalam sebulan aku akan menghabiskan uang rata-rata 390 ribu rupiah. Gajiku sebulan hanya 750 ribu rupiah. Aku akan hanya mempunyai saldo sebesar 360 ribu rupiah per bulan, itu pun dalam kondisi normal. Saldo setahun berarti 4.320.000 rupiah.

Lihatlah! Itu uang jauh lebih kecil dibanding apa yang mungkin aku punyai bila hidup di kota Semarang sebagai imam, tanpa kerja fisik melelahkan.

Ya Tuhan…..
Pikiran spontan yang muncul dalam hatiku ialah, bagaimana aku mesti berhemat; bagaimana aku mesti mengubah gaya hidupku yang lalu. Beginilah orang hidup, memperjuangkan hidup. Aku ditantang untuk selalu mensyukuri hidup yang aku perjuangkan ini, dari hari ke hari.


Jakarta, 31 Agustus 2004

Kemarin sore aku menerima gajiku yang pertama sebesar Rp 350 ribu. Sedikit memang. Tetapi belum pernah aku merasakan uang sebesar itu begitu berharga. Uang itu berbicara banyak sekali kepadaku.
Dia bilang, “Hayo berhemat, jangan boros!”
“Cukupkanlah dirimu dengan jumlah sebesar ini!”
“Bayangkanlah orang lain yang tak memperoleh apa-apa dalam sehari!”
“Bersyukurlah!”


Jakarta, 06 September 2004

Siapa bisa mengubah Jakarta?
Sebuah gedung besar dan luas di tepi jalan sempit dan macet setiap pagi dipasangi spandung: “Dijual” Siapa mau beli bangunan di tempat seperti itu?

Pagi macet, siang macet, sore macet… orang-orang berlalu-lalang datang dan pergi dengan tujuan masing-masing di kepala mereka. Satu yang mereka pikirkan: uang. Hari ini aku butuh uang, untuk makan anak istri, untuk bayar kontrakan, untuk pleasure… masing-masing orang mempunyai level cangkir Maslow jiwanya sendiri-sendiri, dan harus dipenuhi kalau bisa hari ini juga! Dari buruh bangunan jembatan layang maupun gedung bertingkat, bakul sayur dan roti yang berteriak-teriak setiap pagi, sopir angkot dan bajaj… sampai pengunjung mall dan supermarket yang kelebihan uang, atau pegawai bank dan asuransi yang bersih berdasi… semuanya berkata, “Hari ini aku butuh uang!”

Ada yang mampu mengukur kapan dirinya bisa beryukur. Tetapi ada yang tak pernah mampu meski kelimpahan sudah berada di tangan dan saku bajunya. Ada yang mampu memaknai setiap langkah dan perhentian di sepanjang ruas jalan-jalan Jakarta ini. Ada yang tak menampakkan sama sekali denyut Roh yang sedang mereka ikuti iramanya.

Aku hampir tak bisa melihat hal yang berbeda dari orang-orang dalam perjalanan sepanjang jalan itu. Jakarta adalah “jalanan”, absurditas nilai, bahkan “nothingness”, sebentar datang dan bersua, tak lama kemudian pergi seperti angin.

Lihatlah file-file pelamar kerja yang ribuan jumlahnya tertumpuk di setiap kantor agen atau outsourcing tenaga kerja, baik agen yang legal maupun ilegal, yang bertanggung jawab maupun tidak. Apalah artinya sebuah nama dalam tumpukan itu! Bisa-bisa… none… nothing!

Siapa mau mengubah Jakarta?
Apanya yang mau diubah?


Jakarta, 15 September 2004

Kemarin ada seorang pelamar yang diterima di PT. Mulia Glass Float sebagai Front Officer. Sebelumnya dia aku rekomendasikan untuk wawancara di PT. Dipo Star Finance, tapi tidak diterima. Waduuuh … rasanya seneng dan bahagia ada yang diterima begitu. Namanya Rosa Ceti Perwitasari. Sore hari dia aku kirimi sms, ucapan selamat. Dia bilang masing bingung dan nervous. Biasa… aku bilang. Ada dua yang lain barengan dia yang masih diproses entah untuk posisi apa. Semuanya aku yang merekomendasikan. Seneng rasanya…


Jakarta, 16 September 2004

Sebulan persis aku di Jakarta. Pengalaman batin yang aku tuliskan tak sebanding dengan yang aku alami. Waktu sepertinya berlari sementara aku seperti merangkak. Ketika mengawali hidup di Jakarta aku bertekad untuk teratur berdoa, tetapi ya ampun… sedikit waktu yang aku luangkan untuk berdoa! Aku belum bisa berdoa. Terlalu banyak “kejutan” yang menunggu menjadi bahan doa, dan pintu belum terbuka lebar. Pintu jiwa ini masih terhimpit dua dunia yang belum ada kepastian pilihan. Perdebatan batin masih berkecamuk, sekedar untuk memilih fokus yang harus ditempuh. Masih luas ruang jiwa yang hampa…

Tadi malam si Gita, putrinya Pak Herman, masuk rumah sakit karena sariawan di lidah dan tenggorokannya. Umurnya yang baru empat tahun tentu merasa sangat kesakitan dengan penyakit itu. Teriakan tangisannya membuatku tak tahan karena tidak bisa menolongnya. Tiga malam Bu Herman tidak bisa tidur. Pak Herman sendiri baru pergi ke Palembang. Begini kira-kira mempunyai anak balita…

Satu per satu realitas Jakarta muncul ke permukaan jiwaku. Satu di antara sekian buanyak yang masih tersembunyi dan tidak dihiraukan orang yang punya harapan selangit untuk bisa menikmati Jakarta…


Jakarta, 16 Oktober 2004

Sebulan gak ada catatan. Apa yang telah aku buat dan alami? Suatu hari aku mendapat e-mail dari sebuah klien yang mengevaluasi kerjaku: aku tidak profesional. Spontan aku berang. Aku buat balasan habis-habisan, halus tetapi tajam. Tetapi balasan itu urung aku kirimkan. Aku ingat nasihat bukunya Sean Covey tentang bagaimana komunikasi yang baik. “Pahami dulu, sebelum minta dipahami”, “sebaiknya dalam berkomunikasi kita menjadi ibarat cermin bagi lawan bicara, alih-alih berpidato atau menghakimi”. Maka aku tulis balasan baru yang bernada menerima dan mencoba mencerminkan situasi mental orang yang memberi penilaian seperti itu pada saat itu. Hasilnya? Relasi kami kembali hangat, tidak ada “genderang perang”.

Hari berikutnya aku menerima informasi dari salah satu klien perusahaan kami. Intinya membatalkan status “mau dicoba” pada seorang calon tenaga kerja kami yang sudah terlanjur dihubungi dan dia menampakkan antusiame. Lha, kini aku harus menyampaikan berita buruk itu. Saat aku hubungi dia, ternyata dia juga sudah terlanjur menyampaikan pengunduran diri kepada pimpinannya tempat dia bekerja sekarang, untunglah masih secara lisan. Aku pikir aku harus mensupport dia supaya mengurungkan niatnya itu, dan tetap menggeluti pekerjaannya yang baru dia masuki itu, sekalian untuk menimba pengalaman dan mengatur strategi hidup yang lebih baik. Aku tawarkan padanya bukunya Sean Covey supaya dia pinjam dan baca. Dia menerima usul itu.

Hari berikutnya lagi aku harus berurusan lagi dengan situasi serupa namun lebih seru. Dua orang kandidat telah dinyatakan diterima. Tetapi direksi dari divisi lain perusahaan itu mengintervensi keputusan itu, sehingga status “diterima” menurun menjadi “ditunda dulu”! Lagi-lagi aku harus menyampaikan berita itu pada hari ketika salah satu calon itu akan datang menandatangi surat perjanjian/kontrak kerja! Dia malah sudah melangkah lebih jauh, sudah positif mengundurkan diri dari tempat kerjanya sekarang! Aku sempat kelabakan dan sport jantung. Untunglah dia dinyatakan diterima di perusahaan klien kami yang lain, dan dia memilih itu daripada terkatung-katung. Pfffff….!

Hari berikutnya aku masih berharap ada pemberitahuan yang melegakan dari perusahaan yang menunda itu. Tetapi belum juga ada perkembangan positif, sementara aku harus memberitahu kandidat yang satunya lagi. Untunglah, Pak Suryoto masih mempunyai satu cara lagi untuk membantu kesulitanku ini. Beliau mencarikan lowongan lain yang segera bisa anak itu masuki. Pfffff….!


Jakarta, 18 Oktober 2004

Kemarin aku bete! Aku merasa orientasiku di Jakarta kacau, gara-gara identitasku sudah banyak tersebar. Mungkin ini fenomena umum yang dialami setiap ex-p. Semua rancangan dan perkiraan semula yang menyangkut sosialisasi menjadi lain sama sekali dengan realitas. Keluargaku di Cimanggis pun rupanya masih memilih sedikit berbohong tentang status keberadaanku di Jakarta setiap kali ada orang yang bertanya. Lepas dari ini kesalahan siapa, aku harus menghadapinya. Tetapi aku belum punya ide.


Jakarta, 21 Oktober 2004

Setiap bangun pagi aku selalu bertanya, “Apa yang harus kuperbuat hari ini?” Aku tidak peduli apakah pertanyaan itu salah atau tidak. Bahkan tak terpikir apakah baik untuk memulai hari dengan sebuah pertanyaan. Barangkali yang lebih baik adalah seruan syukur. Namun, entahlah. Sepertinya aku merasa tidak terdukung untuk bersyukur. Hari-hari selalu aku lewati dengan pertanyaan, pertanyaan yang sebetulnya menggantungkan jawaban pada supporting-system yang selalu aku rindukan. Jiwaku saat ini memang sedang berada dalam rentang kerinduan. Hati mendamba dan berharap semoga di luar sana ada tangan-tangan lembut yang mau menyambutku; ada wajah-wajah menyapa dan menerima dengan ketulusan; ada kata-kata yang menghidupkan sanubari penuh kebijaksanaan cinta. Aku sendiri terlalu lunglai dan masih sangat bergantung pada luar duniaku.

Setiap kali aku diingatkan oleh pertanyaanku sendiri, “Jalan mana yang harus aku lalui saat ini?” saat itu pula jiwaku seperti ditarik kembali ke titik nol, meskipun aku telah membuat beberapa langkah. Energiku seakan terserap lenyap dari tubuh jiwa ini. Dan lihatlah, ternyata memang aku belum beranjak dari tempat duduk kegelisahanku, meski pantatku sudah jenuh kesemutan.

Hampir satu minggu ini pikiranku melayang, pengen segera pulang dan melepas segunung rindu pada cinta sejatiku, dengan kasih dan air mataku.

Bagaimana hari ini aku harus bangkit berdiri dan melangkahkan kaki? Ah, mungkin memang harus merangkak dulu….. ***

No comments:

Post a Comment

WidgetBucks - Trend Watch - WidgetBucks.com