Wednesday, January 16, 2008

"Anjing di bawah meja tuannya"

MyWeddingMinggu Kliwon, 9 Desember 2007 adalah hari bersejarah bagiku. Itulah hari saat aku mengucapkan janji perkawinan di hadapan publik secara resmi. Aku menikah dengan Leobarda Dini Purwanti secara sipil, tidak secara sakramental.

Bagi kebanyakan orang, hari perkawinan adalah hari bahagia. Ucapan "Selamat menempuh hidup baru semoga berbahagia" juga kami terima dari kerabat dan orang-orang yang menyaksikan perkawinan kami di hari itu dan hari-hari berikutnya. Ada yang secara langsung, ada pula yang melalui telepon maupun SMS. Namun, ucapan itu terasa aneh! Karena perasaanku hari itu memang tidak karuan. Bagaimana tidak, perkawinanku ini lain dari yang lain!

Untuk peristiwa perkawinan seperti diriku dan Dini ini, jumlah orang yang hadir di aula gereja Kiduloji termasuk istimewa. Ada sekitar 200-an orang. Kerabat dan keluarga dekat, teman-teman, kenalan dan bekas anak dampingan hadir menjadi saksi. Malah ada sahabatku seorang muslim rekan seperusahaan yang mengirimkan juru shooting video. Kehadiran mereka aku terima sebagai dukungan yang sangat bernilai. Dan memang, upacara perkawinanku di luar gedung ibadat itu menjadi terkesan sedikit meriah.

Namun aku tahu, di dalam lubuk hati mereka yang mengenal kami berdua tersemat kesedihan dan menyayangkan peristiwa itu. Beberapa kerabat dekatku ada yang tidak kuasa menahan tangis. Beberapa ada juga yang tidak mampu menutupi perasaan benci atas perkawinan itu. Bahkan ada juga yang mengirimkan pesan singkat mengutarakan hatinya yang "kelara-lara".

Aku sendiri ingin merasakan kebahagiaan sebuah hari perkawinan. Mulai malam midodareni dan hari-hari sebelumnya aku berusaha untuk berwajah gembira supaya hatiku turut tersetting demikian. Selama upacara pemberkatan janji perkawinan dan pesta kecil di rumah istriku pun aku membiarkan diri tersenyum dan tertawa, sampai pipi terasa kram. Namun aku mengakui, ada kepedihan tertoreh di hati demi menyadari itu semua. Dan belakangan aku harus mengakui juga bahwa kehadiran orang sebanyak itu lebih memberi dukungan kepada kedua orang tuaku yang tak bisa lagi aku membayangkan perasaan mereka.

Aku kesulitan menggambarkan suasana hatiku di hari itu. Campur aduk tak terkatakan. Gembira dan pedih menjadi satu. Namun untuk sebuah awal perjalanan babak hidup baru, hari itu memberi kesan lebih mendalam: sebab, tidak boleh ada ungkapan syukur atas perkawinanku!

Minggu Kliwon sore di hari yang sama, keluargaku mengadakan misa syukur keluarga dan mengundang umat wilayah untuk hadir. Keluarga istriku juga diundang. Semula ada tiga hal yang ingin disyukuri sebagai ujub:
1. Adikku nomor tiga hamil 7 bulan setelah 5 tahun menikah.
2. Adikku nomor dua baru saja melahirkan anaknya yang kedua, perempuan.
3. Aku sendiri anak nomor satu baru saja menikah.

Tetapi menjelang perayaan Ekaristi dimulai, romo tidak memperkenankan ujub ketiga itu! Aku tidak sempat diberi tahu dan tidak sempat diajak bicara tentang pembatalan itu. Aku bersama keluarga istriku tiba terlambat, persis saat misa akan dimulai. Sepanjang misa itu tidak ada doa atau homili sepatah katapun yang menyebut perkawinanku di pagi hari yang sama. Bahkan, homili romo yang disertai lelucon dan gelak tawa umat terasa seperti pedang tajam yang menusuk hatiku. Tengkukku sampai kaku dan nafasku sesak. Selama misa itu perasaanku sama sekali tidak nyaman. Aku seperti orang asing di rumahku sendiri!

Dan benar, ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Sehabis Doa Syukur Agung aku diminta untuk keluar dan diajak ke dapur. Di sana sudah menunggu Bapak, Pakdhe dan beberapa orang dekat lain. Oleh mereka aku diminta untuk mencegah keluarga istriku yang ingin pulang selagi misa belum selesai! Ya Tuhan! ternyata pembatalan ujub ketiga dan homili tadi itu juga dirasa sangat menyakitkan hati rombongan, yang nota bene tidak semuanya Katolik! Ada feeling of being humiliated.

Syukurlah, aku berhasil membujuk mereka untuk tetap tinggal sampai seluruh acara selesai, termasuk acara sambutan atas kehadiran rombongan yang semula sekalian ingin menyerahkan istriku ke tengah keluarga besarku.

Begitulah, suasana syukuran keluargaku menjadi tidak mengenakkan. Aku bertanya, "Apa yang salah dari semuanya ini?!" sementara orang lain bertanya, "Siapa yang salah?!" Dan kambing hitam pun harus ada! Siapa lagi kalau bukan pihak yang membatalkan ujub ketiga itu!

Demi buntut peristiwa yang seperti itu, aku menangis, benar-benar menangis! Jika dicari siapa yang salah, ya aku-lah biangnya! Siapa lagi?! Dan lagi, salah satu pertimbangan hingga aku memutuskan untuk mundur dari imamat adalah supaya kolegialitas imam-imam tidak turut tercemar oleh dampak "kenakalanku". Namun kini yang terjadi justru apa yang ingin aku hindari: salah satu sahabatku menjadi kambing hitam dan memperoleh umpatan yang sangat kasar.

Sekali lagi aku menangis karenanya. Seandainya ujub ketiga itu diganti menjadi ujub doa untuk yang berdosa ini - bukan ujub syukur - sebetulnya itu saja sudah memberi kesejukan. Orang berdosa ini berharap untuk masih bisa diterima di ruang ibadat, meskipun harus duduk di sudut pojok belakang.

Memang selayaknya aku menerima hukuman, dan aku telah menerimanya dengan cara seperti itu. Dengan perkawinanku aku mengambil resiko untuk menanggung konsekuensi gerejawi. Kini aku dan istriku tidak diperkenankan menyambut komuni dan sakramen-sakramen lainnya. Kami berdua sekarang ini masuk ke dalam ruang ibadat dengan kerinduan menyambut Tubuh dan Darah Kristus. Harapan dan kerinduan itulah yang kami rasa kini menjadi penggerak untuk hadir di sudut rumah Allah seraya memandang meja. Seperti apakah sekarang kami ini?

Pada suatu ketika, seorang ibu yang anak perempuannya kerasukan setan datang mendekat dan menyembah Yesus sambil berkata, "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab, "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Kata perempuan itu, "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya, "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh. - Mat 15:12-28; Mrk 7:24-30.

Permohonan, kata-kata, dan iman perempuan itu memberi inspirasi kepada kami berdua untuk menghayati iman dalam pengharapan dan kerinduan akan pertolongan kasih Allah, meski saat ini kami hanya boleh menerima remah-remah dari meja perjamuan.

"Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya. Tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh." ***

Tuesday, January 08, 2008

Preparing my new era of life

August 15th, 2007 was the day of the 2nd anniversary of my resignation as a Catholic priest. I have been living a way of laity people for two years, going on three. De iure I am still a priest as I just got "suspended" by the Catholic Law. I don't reach 40 years old yet. The Process of laitification will be begun properly at 40. So far no restriction put on me to receive communion and other Holy Sacraments. I thank God for this.

However, the day will come. Recently I am preparing my marriage. I will marry a woman I love on December 9th, 2007. It's so close. Oh, My! My clerical status obviously restricts me to have a wife as I vowed celibacy since my ordination of diacon on January 25th, 2000. So it will be a law-breaking. However I have made a decision after a long journey and deep considerations under many guidances of my spiritual fathers. O, Lord... have mercy on us!

I have submitted all the requirements to gain the civil rights after the marriage. What is bothering me for now is that I will put on a new "status", a new stage of my life. I will be a husband, and if God trusts me, I will be a father of my children. I shall provide the living of my family and have responsibilities on everything in it. And for all of them I just go with my love, a love that I believe it's just from God himself. It's the same love by which I was brave enough to be ordained as a priest on July 12th, 2000 ago. Actually I feel the differences, and a question occures in my mind: "Still having an obsession of the universal love, I should be attached with my wife and children. How should I love?"

For about 17 years of formation, I had been set up to live in celibacy. I realize that it isn't just like reversing a palm of hand to switch my railway track of my life. Instead of hidding the God's love, I just struggle to keep staying in his hand and loving him in this new stage of my life, in the limitations of my being. I just believe in his love, and without him I'm just nothing!

When I was ordained as a priest I quoted John 15,5c as my personal motto: "without me you can do nothing". It still applies on me to begin this new era. Oh my Lord Jesus Christ, have mercy on us sinners, and strenghten our faith, hope and love. ***
November 2007

WidgetBucks - Trend Watch - WidgetBucks.com