Friday, November 23, 2007

Christianity - Videos

Wednesday, November 21, 2007

Guestbook

MySpace Graphics



Welcome to my blog! Thanks for visiting on here. Would you please to sign my guestbook above? And if you would like to leave a comment, just CLICK HERE. Thanks in advanced.

Best regards,
Kandar Ag.

Jangli? Makna Rohani!

Waktu itu petang hari, Sabtu, 02 Maret 2005, saat matahari sudah tenggelam. Lampu-lampu jalan sudah menyala menerangi dua orang muda yang sedang berjalan beriringan sambil memperbincangkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Percakapan mereka begitu hangat, kadang-kadang diselingi tawa, kadang serius dengan topik mendalam. Sebetulnya mereka bisa mengendarai motor berboncengan, tetapi hal itu sengaja tidak dilakukan.

“Kita berjalan kaki saja. Aku pengen mengenal sudut-sudut daerah ini,” kata salah satu dari mereka. Dia memang pendatang baru, sementara yang satunya sudah lebih dahulu berada di Jakarta. “Lagipula kita bisa omong-omong. Emaus.... Emaus.... Iya toh?” lanjutnya.

“Hehe... jadi ingat masa-masa di Jangli dulu ya?” tanggapan yang satunya bernada menyetujui.

“Aku ingin mengawali hidupku di Jakarta ini benar-benar dalam rangka peziarahan, siji sing diarah. Bagaimanapun juga sekarang ini status kita masih imam Keuskupan Agung Semarang....”

Selain teman-teman sekantor, tidak ada yang tahu kalau ternyata kedua orang muda di jalan sore itu adalah imam! Karena penyelenggaraan ilahi – begitu mereka memaknainya – mereka menjalani masa extra domus, menanggalkan fungsi-fungsi imamat untuk sementara waktu.

“Apa pun ujung peziarahan kita di Jakarta ini nantinya, asal kita tidak terlepas dari iman kepada Yesus Kristus junjungan kita, pastilah Dia akan berkenan, dan pastilah itu baik adanya. Pasang mata-telinga-hati-dan pikiran! Semuanya mempunyai makna asal kita memakai kacamata yang benar.”

“Untung kita diperkenalkan dengan yang namanya makna rohani ketika di Jangli dulu ya...”

“Persis! Itulah kacamatanya!”

Tidak terasa dua orang muda yang ternyata imam itu sampai di sebuah toko voucher pulsa handphone, tujuan mereka sore itu. Tidak lama kemudian mereka keluar dari toko itu untuk kembali pulang ke mes. Namun salah satu dari mereka tiba-tiba membungkuk. Matanya tertuju ke sebuah benda di tanah. Warnanya kuning kecoklatan berbalut tanah berpasir. Diambilnya benda itu dan diusapnya. Sebuah salib kecil! Mereka berdua terpana terdiam sejenak.

“Rumaten salib iki!” tanpa komando apa pun tiba-tiba mereka berdua saling berteriak tertahan secara berbarengan. Ada nada haru, sekaligus terasa kobaran api menyala tak terumuskan saat itu.

“Kok ya kamu melihatnya?”
“Lha mbuh...”
“Kebetulan?”
“Dalam keyakinanku, tidak ada kebetulan dalam kacamata makna rohani.”
“Allah berbicara kepada kita, Dab (Mas)!”
“Tuhan beserta kita...”
“Sekarang dan selama-lamanya...”
“Amin!”

Bergantian mereka menciumi salib kecil itu, dan mereka pulang ke mes dengan suasana hati berkobar-kobar dalam keteduhan salib kecil berbalut debu itu. Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak habis-habisnya memperbincangkan soal salib kecil yang mereka temukan itu. Mereka tidak berebut untuk memiliki logam kuningan itu. Tanda itu sudah cukup untuk membahasakan salib dalam hati mereka masing-masing. Mereka menganalogikan jalan-jalan sore itu sebagai perjalanan dua murid dari Emaus. Dan sejak saat itu ‘Rumaten salib iki!’ menjadi refrain mereka berdua di tengah pergulatan hidup di pengasingan di belantara kota Jakarta. Dalam sinar salib kecil yang mereka temukan Sabtu sore itu, Jakarta betul-betul menjadi medan peziarahan rohani, peziarahan rohani dua orang imam muda extra domus yang ingin mempertanggungjawabkan hidup mereka dalam iman yang sungguh-sungguh.

***

Makna rohani! Itulah Roh Jangli yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh pria-pria muda besutan Wisma Sanjaya. Itulah dua kata yang sangat operasional mulai bangun pagi sampai malam saat pergi tidur, dan akan terasa sayang bila diabaikan. Sekurang-kurangnya si frater akan kerepotan pada Jumat sore bila serentang minggu yang telah lalu dia belum dapat merumuskan insight rohani apa-apa untuk disharingkan sebagai makna rohani pada saat rapat komunitas. Muka merah dan hati berdebar. Ada secuil rasa malu pada teman-teman sekomunitas dan romo rektor. Dan tentu saja malu pada diri sendiri.

Bagaimana tidak, biarpun hanya sepenggal kata untuk merumuskannya, didalamnya dipertaruhkan otentisitas dan simplisitas sebagai pribadi terpanggil di hadapan Allah. Otentik, karena murni dari pengalaman individual yang jujur dan tulus, bukan jiplakan dari pengalaman teman. Simple, karena iman tumbuh berkembang dari kesederhanaan hati; hanya dalam kesederhanaan itulah kerja offisi rutin membosankan, aktivitas harian dan alam semesta bisa menampakkan kuntum-kuntum atau puncta spiritualis yang sangat berarti. Kebijaksanaan dan kecerdasan iman memperoleh nutrisinya. Sabda Allah dalam Kitab Suci dapat sungguh hidup. Karena muncul dari kesederhanaan, kadang-kadang makna rohani ditemukan dalam pengalaman konyol dan lucu, tak terduga dan tak bisa direkayasa. Untuk merumuskannya pun kadang diperlukan keberanian dan ke-nekad-an. Sepintas terkesan, demi sebuah makna rohani seorang frater mengadakan petualangan rohani dalam seminggu. Namun lebih dari itu, sebetulnya ada sikap hati yang mendamba sapaan Allah di luar media rohani formal seperti puncta, doa rosario, brevier, ibadat, adorasi dan Ekaristi. Avontur rohani itupun menjadi peziarahan iman untuk melihat, mendengarkan dan mengikuti Allah yang bersabda dan berkarya setiap saat, Allah yang menyelenggarakan kasih-Nya tanpa batas. Bagi para frater yang dilanda kehampaan makna rohani, ayat-ayat Kitab Suci telah siap membantu menggarisbawahi pengalamannya... tentu bila dibaca dengan sungguh. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7).

Memanglah dibutuhkan kecerdasan iman untuk merumuskan makna rohani. Secara serentak proses perumusan itu sendiri mengasah kecerdasan iman para frater. Allah yang mengasihi adalah Misteri. Salah satu bahasa yang pada hemat saya cukup mewakili untuk menangkapnya adalah bahasa analogi antara dua dimensi: dimensi insani dan dimensi ilahi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, yang wadhag dan yang rohani. Dimensi yang satu menggetarkan yang lain; orang musik bilang: terjadi resonansi. Orang yang mampu menangkap getar resonansi itu mempunyai kepekaan hati. Afeksi seseorang berkembang karena kepekaannya terhadap tanda-tanda semesta (zaman) di sekelilingnya. Di Jangli, pendampingan hidup beriman sebagai manusia panggilan untuk imamat tidak mengabaikan aspek ini.

Bagi saya pencarian makna rohani adalah sebuah tradisi yang ditanamkan kuat di Tahun Rohani Jangli, bahkan menjadi cara kerja bagaimana saya menghayati iman. Sebagai sebuah tradisi, habitus merumuskan makna rohani tidak berhenti pada rapat komunitas terakhir di Jangli saja. Habitus itu berlanjut di Seminari Tinggi, semasa menghayati hidup imamat, dan sampai sekarang ini ketika saya sudah meletakkan jabatan imamat itu. Makna rohani-makna rohani yang terhimpun menjadi untaian rahmat Allah yang membimbing dan menguatkan langkah hidup saya. Bahkan, beberapa pengalaman hidup masa lalu baru bisa saya tangkap dan rumuskan maknanya jauh sesudah peristiwa itu berlalu.

Kentut = kabar gembira!

Saya lupa persisnya kapan, ketika di Tahun Rohani saya pernah menderita keracunan. Teman-teman menduga saya keracunan ikan tongkol yang dihidangkan di refter. Perut saya sebah (tidak enak), rasanya penuh angin dan kenyang selama tiga hari. Repotnya, saya tidak bisa buang air besar. Bahkan kentut pun tidak bisa! Teman-teman pada tertawa! Hanya ingin kentut saja nggak bisa! Hari ketiga ada teman yang memberi saya susu untuk diminum. Dan pada hari itu juga saya bisa kentut, lega rasanya... teman-temanku ikut tersenyum senang, meski soal kentut itu akhirnya sempat menjadi olok-olokan untuk saya.

Tahun 1998 ketika saya tingkat V FTW, saya harus menjalani operasi usus buntu. Lagi-lagi soal kentut menjadi tema! Setiap orang yang membesuk saya selalu bertanya, “Sudah kentut belum?” Begitu pentingnya kentut bagi mereka, pikir saya. Sebab katanya, sehabis operasi bila sampai kemasukan minuman atau makanan sebelum kentut, bisa fatal akibatnya. Saya baru kentut setelah hari kedua sesudah operasi. Baunya minta ampun! Tetapi orang senang mendengarnya. Kakak saya yang menemani saya, tidak peduli dengan bau itu. Kentut saya waktu itu menyenangkan keluarga saya.

Kentut dinanti dan dirindu, padahal menjengkelkan bagi beberapa orang!

Saya sempat terusik oleh ironi ini. Namun, syukur kepada Allah! Saya jadi memahami kentut orang lain, dan lebih dari itu saya memahami salah satu peristiwa iman yang dialami Bunda Maria pada awal perutusannya. Saya berdoa semoga cara pemahaman saya tidak keliru. Saya memahami demikian: Ketika Maria menerima “kabar gembira” dari malaikat Gabriel bahwa dia akan mengandung Mesias dari Roh Kudus (bdk. Luk 1:26-38), pada saat itu – ampun ya Bunda – Maria ibarat “dikentuti” oleh Allah! Betapa tidak?! Dia belum bersuami, tetapi harus hamil mengandung bayi Yesus. Kehadiran Mesias dinanti oleh Maria dan seluruh bangsa Israel, kegembiraan seluruh dunia; tetapi hamil di luar nikah adalah kenajisan yang harus dibayar dengan rajam sampai mati. Maria harus menerima itu, dengan iman yang teramat besar dan mendalam....

Belajar dari kentut dan peristiwa Maria Annunciata yang kita rayakan setiap tanggal 25 Maret itu, saya belajar menghayati iman dan hidup dengan cara pandang yang positif. Saya meyakini, sepahit apapun peristiwa dalam hidup ini, di situ Allah juga menyampaikan kegembiraan, Dia menjalankan karya penyelamatan-Nya. Kentut bisa membuat orang bersungut-sungut, tetapi bisa juga membuat orang tersenyum geli tertawa gelak. Saya memilih yang terakhir, dan ini adalah pilihan iman! Peziarahan iman di dunia ini akan sangat melelahkan bila dipenuhi “sungut”, namun akan menggairahkan bila disertai senyum dan muka cerah-ceria.

Oleh karena tradisi makna rohani mulai dari Jangli-lah, saya bisa tersenyum bersama Allah dengan kekonyolan-kekonyolan-Nya yang mampu saya tangkap dengan cara seperti itu. Selanjutnya, “biarlah segala makhluk memuji nama-Nya yang kudus untuk seterusnya dan selamanya” (Mz 145:21).

***

Selamat merayakan Pesta Perak untuk Wisma Sanjaya. Aku bersyukur dan bergembira boleh menghirup nafas di tempatmu 15 tahun yang lalu ketika aku diajak mengenali kasih Allah secara mendalam; dan 2 tahun yang lalu ketika aku memantapkan langkahku untuk menapaki jalan baru peziarahan imanku. Semoga siapa pun yang pernah, sedang dan akan melewati hari-hari hari di tempatmu senantiasa disegarkan oleh hembusan Roh Kudus. Terima kasih kepada para romo pembimbingku, Romo Pujasumarta dan Romo Djono, Romo Hartosubono, Romo Priambono, Sr. Antonia, Sr. Francisca, rekan seangkatan, sahabat sekomunitas, dan tak lupa Mami Sikep. Terima kasih kepada umat Allah atas doa dan perhatian yang kami terima. Aku juga berdoa untuk kebahagiaan kekal Romo Kardinal Darmoyuono dan Romo Nata Susila almarhum yang telah mendahului kita menghadap Bapa.

Proficiat! Wisma Sanjaya, aku membanggakanmu! ***


Jakarta, 18 Maret 2006

Pada bulan permenungan Salib Kristus
(maaf, bulan permenungan “kentut” Allah juga!)

Monday, November 19, 2007

Akhirnya aku tiba di Jakarta

Berikut catatanku beberapa hari setelah kedatanganku di Jakarta:
Waktu itu aku diantar oleh Rm. Hartosubono, Pr., rektor Tahun Rohani Jangli. Selama setahun aku memang berada di Jangli, di bawah pendampingan beliau, rekan sekomunitas bersama para frater dan Rm. Priambono, Pr. Dari Stasiun Tawang Semarang tgl. 16 Agustus 2004 naik kereta bisnis, turun di Jatinegara. Mampir ngopi sebentar dan akhirnya naik taksi ke Kramat VII, untuk sejenak istirahat di Wisma Unio. Di sana disambut Rm. Sunu, Pr. yang waktu itu bertugas di Kerawam KWI. Siang hari naik taksi lagi ke Pondok Kelapa Indah B-IV no. 10 Kalimalang, Jakarta Timur. Harus tanya-tanya, karena aku sendiri agak lupa. Akhirnya ketemu. Tentu saja kantor Seruni tutup, hari itu persis 17 Agustus. Akhirnya aku dan Rm. Bono pergi ke rumah Bp. Kasyanto, teman seangkatan dan sekampung Rm. Bono.

Mulailah hari-hariku di Jakarta.... 18 Agustus 2004 adalah hari pertamaku masuk kantor Seruni. Sebagai tempat tinggal aku diperbolehkan menempati mes yang waktu itu sudah ditempati Bp. Mathias Herman, adik kelasku di Kentungan dulu, bersama istri dan satu anaknya, serta Wahyu Sri Kuncoro yang waktu itu masih sebagai frater probasi (tapi akhirnya memutuskan mundur juga, hehehe...). Selain di mes, sering aku tidur di rumah kakakku, Jusup Mujiman di Cimanggis Kelapadua, Depok, 28 kilometer dari kantor. Lajo dari sana. ***


Jakarta, 30 Agustus 2004

Akhirnya aku tiba di Jakarta!
Jakarta itu belantara!
Jakarta itu lautan manusia!
Jakarta itu raksasa dengan bau nafas pengap persaingan!
Siapa tidak ulet, tak bisa hidup di sini.
Jangan terlalu membidik posisi terlalu tinggi deh!
Lihat tuh, buanyak pelamar berijazah S-1, S-2,
bahkan yang sudah pernah belajar dan bekerja di luar negeri pun menganggur!
Lulusan SLTA tidak kalah buanyak. Tetapi rupa-rupanya mereka malah lebih beruntung karena banyak lowongan yang membutuhkah tingkat itu. Dan umumnya, lulusan SLTA yang berani mengadu nasib di Jakarta tentulah mempunyai semangat yang luar biasa. Mereka mau memulai dari pekerjaan dengan posisi bawah sekali.

Aku datang ke Jakarta dengan dugaan dan persiapan yang berbeda sekali dengan kenyataan yang akhirnya aku hadapi. Aku mengepak barang-barangku sebanyak 7 kardus Gudang Garam! Sampai di sini, sudah dua minggu aku di Jakarta, masih ada tiga kardus yang calonnya hanya akan berkurang sedikit isinya. Bukan karena apa-apa. Di Jakarta ternyata tidak butuh banyak barang yang terlanjur aku bawa itu. Selain tidak ada tempat, barang-barang itu pasti tak akan pernah tersentuh. Aku hanya butuh: pakaian secukupnya, uang untuk transport, piring dan sendok, gelas gula dan kopi, handuk dan alat mandi, bantal dan alas tidur berikut obat nyamuk. Sudah.

Aku berangkat kerja jam 07.30, pulang sekitar jam 19.00. Sampai di rumah sudah kelelahan, hanya pengen segera pergi tidur.

Sampai tanggal ini aku belum mendapat gaji. Jadi uangku defisit terus untuk transportasi dan makan. Per hari uang transport 2 ribu rupiah, makan 5,5 ribu rupiah, rokok 5,5 ribu rupiah. Jadi rata-rata per hari aku mengeluarkan uang sebesar 13 ribu rupiah. Dalam sebulan aku akan menghabiskan uang rata-rata 390 ribu rupiah. Gajiku sebulan hanya 750 ribu rupiah. Aku akan hanya mempunyai saldo sebesar 360 ribu rupiah per bulan, itu pun dalam kondisi normal. Saldo setahun berarti 4.320.000 rupiah.

Lihatlah! Itu uang jauh lebih kecil dibanding apa yang mungkin aku punyai bila hidup di kota Semarang sebagai imam, tanpa kerja fisik melelahkan.

Ya Tuhan…..
Pikiran spontan yang muncul dalam hatiku ialah, bagaimana aku mesti berhemat; bagaimana aku mesti mengubah gaya hidupku yang lalu. Beginilah orang hidup, memperjuangkan hidup. Aku ditantang untuk selalu mensyukuri hidup yang aku perjuangkan ini, dari hari ke hari.


Jakarta, 31 Agustus 2004

Kemarin sore aku menerima gajiku yang pertama sebesar Rp 350 ribu. Sedikit memang. Tetapi belum pernah aku merasakan uang sebesar itu begitu berharga. Uang itu berbicara banyak sekali kepadaku.
Dia bilang, “Hayo berhemat, jangan boros!”
“Cukupkanlah dirimu dengan jumlah sebesar ini!”
“Bayangkanlah orang lain yang tak memperoleh apa-apa dalam sehari!”
“Bersyukurlah!”


Jakarta, 06 September 2004

Siapa bisa mengubah Jakarta?
Sebuah gedung besar dan luas di tepi jalan sempit dan macet setiap pagi dipasangi spandung: “Dijual” Siapa mau beli bangunan di tempat seperti itu?

Pagi macet, siang macet, sore macet… orang-orang berlalu-lalang datang dan pergi dengan tujuan masing-masing di kepala mereka. Satu yang mereka pikirkan: uang. Hari ini aku butuh uang, untuk makan anak istri, untuk bayar kontrakan, untuk pleasure… masing-masing orang mempunyai level cangkir Maslow jiwanya sendiri-sendiri, dan harus dipenuhi kalau bisa hari ini juga! Dari buruh bangunan jembatan layang maupun gedung bertingkat, bakul sayur dan roti yang berteriak-teriak setiap pagi, sopir angkot dan bajaj… sampai pengunjung mall dan supermarket yang kelebihan uang, atau pegawai bank dan asuransi yang bersih berdasi… semuanya berkata, “Hari ini aku butuh uang!”

Ada yang mampu mengukur kapan dirinya bisa beryukur. Tetapi ada yang tak pernah mampu meski kelimpahan sudah berada di tangan dan saku bajunya. Ada yang mampu memaknai setiap langkah dan perhentian di sepanjang ruas jalan-jalan Jakarta ini. Ada yang tak menampakkan sama sekali denyut Roh yang sedang mereka ikuti iramanya.

Aku hampir tak bisa melihat hal yang berbeda dari orang-orang dalam perjalanan sepanjang jalan itu. Jakarta adalah “jalanan”, absurditas nilai, bahkan “nothingness”, sebentar datang dan bersua, tak lama kemudian pergi seperti angin.

Lihatlah file-file pelamar kerja yang ribuan jumlahnya tertumpuk di setiap kantor agen atau outsourcing tenaga kerja, baik agen yang legal maupun ilegal, yang bertanggung jawab maupun tidak. Apalah artinya sebuah nama dalam tumpukan itu! Bisa-bisa… none… nothing!

Siapa mau mengubah Jakarta?
Apanya yang mau diubah?


Jakarta, 15 September 2004

Kemarin ada seorang pelamar yang diterima di PT. Mulia Glass Float sebagai Front Officer. Sebelumnya dia aku rekomendasikan untuk wawancara di PT. Dipo Star Finance, tapi tidak diterima. Waduuuh … rasanya seneng dan bahagia ada yang diterima begitu. Namanya Rosa Ceti Perwitasari. Sore hari dia aku kirimi sms, ucapan selamat. Dia bilang masing bingung dan nervous. Biasa… aku bilang. Ada dua yang lain barengan dia yang masih diproses entah untuk posisi apa. Semuanya aku yang merekomendasikan. Seneng rasanya…


Jakarta, 16 September 2004

Sebulan persis aku di Jakarta. Pengalaman batin yang aku tuliskan tak sebanding dengan yang aku alami. Waktu sepertinya berlari sementara aku seperti merangkak. Ketika mengawali hidup di Jakarta aku bertekad untuk teratur berdoa, tetapi ya ampun… sedikit waktu yang aku luangkan untuk berdoa! Aku belum bisa berdoa. Terlalu banyak “kejutan” yang menunggu menjadi bahan doa, dan pintu belum terbuka lebar. Pintu jiwa ini masih terhimpit dua dunia yang belum ada kepastian pilihan. Perdebatan batin masih berkecamuk, sekedar untuk memilih fokus yang harus ditempuh. Masih luas ruang jiwa yang hampa…

Tadi malam si Gita, putrinya Pak Herman, masuk rumah sakit karena sariawan di lidah dan tenggorokannya. Umurnya yang baru empat tahun tentu merasa sangat kesakitan dengan penyakit itu. Teriakan tangisannya membuatku tak tahan karena tidak bisa menolongnya. Tiga malam Bu Herman tidak bisa tidur. Pak Herman sendiri baru pergi ke Palembang. Begini kira-kira mempunyai anak balita…

Satu per satu realitas Jakarta muncul ke permukaan jiwaku. Satu di antara sekian buanyak yang masih tersembunyi dan tidak dihiraukan orang yang punya harapan selangit untuk bisa menikmati Jakarta…


Jakarta, 16 Oktober 2004

Sebulan gak ada catatan. Apa yang telah aku buat dan alami? Suatu hari aku mendapat e-mail dari sebuah klien yang mengevaluasi kerjaku: aku tidak profesional. Spontan aku berang. Aku buat balasan habis-habisan, halus tetapi tajam. Tetapi balasan itu urung aku kirimkan. Aku ingat nasihat bukunya Sean Covey tentang bagaimana komunikasi yang baik. “Pahami dulu, sebelum minta dipahami”, “sebaiknya dalam berkomunikasi kita menjadi ibarat cermin bagi lawan bicara, alih-alih berpidato atau menghakimi”. Maka aku tulis balasan baru yang bernada menerima dan mencoba mencerminkan situasi mental orang yang memberi penilaian seperti itu pada saat itu. Hasilnya? Relasi kami kembali hangat, tidak ada “genderang perang”.

Hari berikutnya aku menerima informasi dari salah satu klien perusahaan kami. Intinya membatalkan status “mau dicoba” pada seorang calon tenaga kerja kami yang sudah terlanjur dihubungi dan dia menampakkan antusiame. Lha, kini aku harus menyampaikan berita buruk itu. Saat aku hubungi dia, ternyata dia juga sudah terlanjur menyampaikan pengunduran diri kepada pimpinannya tempat dia bekerja sekarang, untunglah masih secara lisan. Aku pikir aku harus mensupport dia supaya mengurungkan niatnya itu, dan tetap menggeluti pekerjaannya yang baru dia masuki itu, sekalian untuk menimba pengalaman dan mengatur strategi hidup yang lebih baik. Aku tawarkan padanya bukunya Sean Covey supaya dia pinjam dan baca. Dia menerima usul itu.

Hari berikutnya lagi aku harus berurusan lagi dengan situasi serupa namun lebih seru. Dua orang kandidat telah dinyatakan diterima. Tetapi direksi dari divisi lain perusahaan itu mengintervensi keputusan itu, sehingga status “diterima” menurun menjadi “ditunda dulu”! Lagi-lagi aku harus menyampaikan berita itu pada hari ketika salah satu calon itu akan datang menandatangi surat perjanjian/kontrak kerja! Dia malah sudah melangkah lebih jauh, sudah positif mengundurkan diri dari tempat kerjanya sekarang! Aku sempat kelabakan dan sport jantung. Untunglah dia dinyatakan diterima di perusahaan klien kami yang lain, dan dia memilih itu daripada terkatung-katung. Pfffff….!

Hari berikutnya aku masih berharap ada pemberitahuan yang melegakan dari perusahaan yang menunda itu. Tetapi belum juga ada perkembangan positif, sementara aku harus memberitahu kandidat yang satunya lagi. Untunglah, Pak Suryoto masih mempunyai satu cara lagi untuk membantu kesulitanku ini. Beliau mencarikan lowongan lain yang segera bisa anak itu masuki. Pfffff….!


Jakarta, 18 Oktober 2004

Kemarin aku bete! Aku merasa orientasiku di Jakarta kacau, gara-gara identitasku sudah banyak tersebar. Mungkin ini fenomena umum yang dialami setiap ex-p. Semua rancangan dan perkiraan semula yang menyangkut sosialisasi menjadi lain sama sekali dengan realitas. Keluargaku di Cimanggis pun rupanya masih memilih sedikit berbohong tentang status keberadaanku di Jakarta setiap kali ada orang yang bertanya. Lepas dari ini kesalahan siapa, aku harus menghadapinya. Tetapi aku belum punya ide.


Jakarta, 21 Oktober 2004

Setiap bangun pagi aku selalu bertanya, “Apa yang harus kuperbuat hari ini?” Aku tidak peduli apakah pertanyaan itu salah atau tidak. Bahkan tak terpikir apakah baik untuk memulai hari dengan sebuah pertanyaan. Barangkali yang lebih baik adalah seruan syukur. Namun, entahlah. Sepertinya aku merasa tidak terdukung untuk bersyukur. Hari-hari selalu aku lewati dengan pertanyaan, pertanyaan yang sebetulnya menggantungkan jawaban pada supporting-system yang selalu aku rindukan. Jiwaku saat ini memang sedang berada dalam rentang kerinduan. Hati mendamba dan berharap semoga di luar sana ada tangan-tangan lembut yang mau menyambutku; ada wajah-wajah menyapa dan menerima dengan ketulusan; ada kata-kata yang menghidupkan sanubari penuh kebijaksanaan cinta. Aku sendiri terlalu lunglai dan masih sangat bergantung pada luar duniaku.

Setiap kali aku diingatkan oleh pertanyaanku sendiri, “Jalan mana yang harus aku lalui saat ini?” saat itu pula jiwaku seperti ditarik kembali ke titik nol, meskipun aku telah membuat beberapa langkah. Energiku seakan terserap lenyap dari tubuh jiwa ini. Dan lihatlah, ternyata memang aku belum beranjak dari tempat duduk kegelisahanku, meski pantatku sudah jenuh kesemutan.

Hampir satu minggu ini pikiranku melayang, pengen segera pulang dan melepas segunung rindu pada cinta sejatiku, dengan kasih dan air mataku.

Bagaimana hari ini aku harus bangkit berdiri dan melangkahkan kaki? Ah, mungkin memang harus merangkak dulu….. ***

Sunday, November 18, 2007

About this blog

Kandar's Blog is a personal blog of a Catholic ex-priest who wants to keep running his role in the vitality of The Kingdom of God though in his weaknesses and limitations. He tries to keep living FAITH-HOPE-and LOVE in his life as a journey of a sacred pilgrimage. Indonesian language, but eventually in English.


Deo gratias! Syukur kepada Allah, Anda telah mengunjungi blog ini di sela-sela aktivitas on-line maupun off-line Anda. Sesuatu telah membawa Anda ke blog pribadi ini, entah secara sengaja karena undangan dari saya, maupun secara kebetulan karena proses terntentu di dunia maya. Apa pun itu, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan Anda!

Menurut sebuah sumber pemantau blog di internet, setiap harinya ada sekitar 75.000 blog baru muncul di belantara maya ini. Maka bisa dibayangkan betapa beruntungnya saya karena kunjungan Anda ini. Di antara jumlah yang tak terhitung banyaknya itu, dan banyak dari mereka merupakan situs-situs menarik, handal dan profesional dengan rating tinggi, apalah keistimewaan dari blog pribadi ini?

Setiap blog pribadi sebetulnya unik, sebagaimana setiap individu itu unik. Namun, untuk menampilkan diri secara jujur menyangkut sisi kehidupan yang sangat privat tentulah merupakan "keberanian" luar biasa. Apalagi hal itu menyangkut keingintahuan setiap orang mengenai orang lain: kebaikan, kecantikan, kelembutan, keluhuran budi, teladan hidup, dan (biasanya yang lebih disukai) sisi-sisi gelap orang lain seperti kejelekan, cacat dan keburukan orang itu.

Blog artis, tokoh politik, figur publik, penjahat (kalau pernah tahu, hehehe...) pasti menarik untuk dikunjungi terutama oleh para penggemarnya. Tak ketinggalan pula blog milik teman karib atau "sahabat sejati". Kita (pengunjung) menjadi tahu lebih banyak tentang kegembiraan, duka kesedihan, keluh kesah dan harapan mereka.

Saya bukan artis, selebritis, tokoh politik atau tokoh terkenal. Jadi mengapa membuat publikasi diri dengan blog ini?

Bagi saya pertanyaan itu sangat serius. Saya sudah membuat banyak blog. Hampir semua berisi tentang apa yang saya pikirkan berupa opini atau ide. Boleh dikata blog-blog terdahulu itu adalah "obessive blogs" saya. Ada obsesi berkaitan dengan visi dan misi hidup saya. Dengan blog-blog itu saya bermaksud untuk meneruskan "perutusan" yang dulu pernah secara resmi saya terima. Saya pernah ditahbiskan sebagai imam gereja Katolik pada tahun 2000 lalu! Sejak 15 Agustus 2005 saya telah "menanggalkan jubah" imamat itu secara resmi dengan surat suspensi yang saya terima dari Mgr. Suharyo, Uskup Agung Semarang. Jadi di balik blog-blog itu ada semacam motivasi balas budi yang belum seberapa.

Saya merasa berhutang budi atas segala pengorbanan kasih yang saya terima hingga saya ditahbiskan menjadi imam dan lima tahun berkarya sebagai pelayan umat. Dengan blog-blog itu saya ingin tetap berkomitmen menjalankan fungsi pewarta Sabda Kasih Allah kepada semua makhluk.

Saya mengerti, banyak orang menyayangkan pengunduran diri saya itu (mungkin Anda pun juga). Beberapa mungkin menghujat karena kecewa. Tetapi saya percaya, masih ada Umat Allah yang bisa memahami, menerima dan masih mencintai saya secara tulus, terutama kedua orang tua dan keluarga besar saya. Beberapa dari mereka bahkan masih menyambut saya dengan hangat, dan tetap menjalin relasi dengan saya. Saya sangat mensyukurinya.

Saya yakin juga, banyak kenalan dan siapa pun yang ingin mengetahui keadaan hidup saya semenjak itu: bagaimana kabarnya, sekarang di mana, pekerjaannya apa, sudah berkeluarga atau belum (hehehe...), dll. Karena tak mungkin saya bercerita kepada setiap orang satu per satu, akhirnya saya memutuskan untuk membuat blog yang satu ini. Kadang ada perasaan rindu untuk bercengkerama langsung dengan mereka yang saya kenal maupun mengenal saya. Namun karena keterbatasan saya hal itu tidak segera bisa kesampaian. Blog ini, seperti sebuah diary, menjadi pengobat rindu itu. Siapa tahu, dunia maya ini masih memberikan kesempatan tak terduga itu.

Meterai imamat itu masih melekat dalam diri saya, sampai mati. Anugerah agung itu masih tetap saya syukuri sampai sekarang dan selalu, meski saya pelihara dalam kerapuhan bejana tanah liat. Blog ini adalah sebagian dari cara saya untuk mensyukuri dan memelihara anugerah itu supaya tetap terpancar dalam kehidupan pribadi sehari-hari. Tidak mudah memang. Tetapi saya percaya akan pertolongan Allah Mahakasih bagi umat-Nya.

***

Pada kesempatan awal ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam hidup saya:


  • Bapak, Mamak dan adik-adik saya, serta seluruh keluarga besar (Kakek-Nenek, Pakdhe- Budhe, Paklik-Bulik): Aku sangat mencintai kalian. Doa dan kasih seluas samudera yang kalian alirkan kepadaku adalah kekuatan hidup tiada tara. Kasih Allah sungguh nyata aku alami dari kalian. Aku masih memiliki "rumah" yang selalu menyambutku dengan hangat. Deo gratias!
  • Para pendidikku, guru TK, SD, SMP dan SMA Seminari Mertoyudan Magelang, serta para dosen di Fakultas Filsafat-Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Jogja: dari dan bersama Bapak-Ibu, Romo, Frater, Bruder dan suster, saya telah dibantu untuk mengenali dan memahami dunia ini secara lebih utuh. Tentu saja tak akan saya lupakan para formator, rekan-rekan seangkatan dan seasrama, baik di Seminari Menengah, Tahun Rohani, maupun di Seminari Tinggi St. Paulus: para Romo, Frater, Bruder dan Suster sekalian telah menjadi orangtua dan sahabat-sahabat saya yang kedua. Dari dan bersama Anda semua saya belajar mengenali dan menjalani panggilan hidup imami secara jujur dan penuh syukur. Deo gratias!
  • Rekan-rekan imam Keuskupan Agung Semarang dan seluruh kolegialitas para imam, serta komunitas biara dan tarekat yang saya kenal: dari dan bersama para Romo, bruder dan suster saya mengalami persaudaraan rohani yang hangat. Kadang saya rindu berada di tengah-tengah kalian seperti dulu. Namun kini saya meniti jalan unik ini. Doakan saya supaya status "dimissus" yang saya sandang tetap memberi berkah karunia untuk tetap berperan dalam vitalitas Kerajaan Allah. Syukur (Ekaristi) tetaplah bergema di dalam maupun di luar meja rumah ibadat kita. Untuk kalian pula saya berdoa. Deo gratias!
  • Para pembimbing rohani pribadi saya (Rm. Suto, Pr., Rm. Riawinarta, Pr., Alm. Rm. Kiswara, SJ., Rm. Maryana, SJ., Rm. Pujasumarta, Pr., Rm. Djonowasono, Pr., Rm. Wernet, SJ., Rm. Darmawijaya, Pr., Rm. Hartosubono, Pr., dan Mgr. Kartasiswaya, Pr.): dari dan bersama para Romo saya telah menerima pertolongan tak ternilai untuk menjadi orang beriman yang lebih dewasa. Dari dan bersama para Romo pula saya memperoleh "keberanian" mengatasi setiap keraguan dan ketakutan untuk melangkahkan kaki menjalani peziarahan hidup ini. Bersama para Romo wajah kasih Allah menerangi jalan saya ke arah-Nya, jalan yang selalu tampak indah untuk selalu disyukuri, dirayakan dan diwartakan. Deo gratias!
  • Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. Suharyo: Masih melekat kuat dalam ingatan detik-detik membahagiakan ketika saya menerima pengurapan dan penumpangan tangan dari Bapak Uskup. Masih melekat pula ingatan akan janji imamat yang saya ucapkan pada saat pentahbisan itu. Begitu juga masih hangat pula ingatan akan pelukan kasih Bapak Uskup tanpa mampu menyembunyikan wajah kesedihan ketika saya berpamitan setelah menerima surat tanggapan pengunduran diri. Tanggal 15 Agustus adalah tanggal bersejarah dan penuh berkah pula. Bapak Uskup, saya mohon maaf karena telah "nakal" dengan kesombongan saya dan ingkar pada janji tahbisan saya. Pelukan itu mengenangkan keteduhan figur Bapa yang baik hati dalam kisah tentang "The prodigal son". Saya tak ingin menyia-nyiakan ketulusan kasih Bapak Uskup di hari itu. Mohon berkat untuk perjalanan saya selanjutnya, Bapak Uskup. Deo gratias!
  • Akhirnya, kepada seluruh umat Allah yang kudus, secara khusus umat KAS: dari kalian saya berasal, dan kini kembali. Maafkan saya karena telah melukai hati Anda semua dengan pengunduran diri saya. Kesempatan pernah memimpin perayaan-perayaan sakramen dan ibadat bersama kalian adalah sejarah berkah yang selalu saya syukuri. Semua pelayanan sakramen yang melalui saya waktu itu sungguh-sungguh sah dan jangan ragu untuk melanjutkannya. Pengunduran diri saya tidak mempengaruhi sedikit pun akan karunia sejati yang semata-mata dari Allah sendiri. Atas semua kebaikan, perhatian dan kasih yang pernah saya terima saya mengucapkan terima kasih tak terhingga. Barangkali saat ini saya bukan apa-apa lagi. Tetapi di dalam lubuk hati saya tetap hidup semangat yang dulu saya hayati, meskipun sekarang ini menjadi lebih terbatas. Beginilah saya sekarang ini. Saya berdoa semoga Anda semua tetap teguh beriman kepada Kristus junjungan kita. "Berkah Dalem" itu masih menyatukan kita. Deo gratias!
***

Sekali lagi, terimakasih atas kunjungan Anda ke blog ini dan menyempatkan diri untuk membaca pengantar yang sangat panjang ini. Saya berjanji akan menyambut baik setiap kunjungan maupun sapaan Anda.

Berkat dan kasih Allah menyertai hidup Anda dan kita semua. Amin. ***


WidgetBucks - Trend Watch - WidgetBucks.com